BEKASI, KOMPAS.com - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengkritisi tindakan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) dan SKK Migas yang membatasi pasokan serta mengenakan surcharge tinggi atas Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) hingga 48 persen.
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arif mengatakan hal itu bertentangan dengan kebijakan Presiden Prabowo Subianto soal penetapan harga HGBT sebesar 6,5 dollar AS per MMBtu.
Keberlanjutan pasokan HGBT pun telah dijamin.
Baca juga: Pasokan Gas Murah Dibatasi, 100.000 Buruh Terancam PHK
Ilustrasi pemutusan hubungan kerja (PHK). "Apabila pengetatan berlanjut hingga hanya 48 persen dari kebutuhan, maka 134.794 pekerja di sektor industri pengguna HGBT berpotensi terkena pemutusan hubungan kerja (PHK)," ujar Febri dilansir keterangan resmi pada Selasa (19/8/2025).
Rinciannya yakni industri keramik (43.058 pekerja), baja (31.434 pekerja), petrokimia (23.006 pekerja), pupuk (10.420 pekerja), kaca (12.928 pekerja), oleokimia (12.288 pekerja) dan sarung tangan karet (1.660 pekerja).
"Angka ini alarm serius. Setiap kebijakan terkait pasokan gas harus mempertimbangkan implikasi terhadap keberlangsungan usaha dan kesejahteraan ratusan ribu keluarga yang menggantungkan hidup pada sektor ini,” tegasnya.
Menurut Febri, biaya energi adalah komponen besar dalam struktur produksi sehingga kenaikan harga maupun pengurangan volume HGBT akan langsung menekan margin, menurunkan utilisasi, hingga menghambat investasi.
Baca juga: Kemenperin Soroti Pengetatan HGBT, Puluhan Ribu Pekerja Industri Terancam PHK
Data Kemenperin mencatat, utilisasi industri keramik nasional pada semester I-2025 hanya mampu bertahan di kisaran 70 hingga 71 persen.
"Kalau pasokan gas terus terganggu, capaian ini bisa tergerus, termasuk industri pupuk yang menopang program swasembada pangan Presiden Prabowo,” tuturnya.
Kemenperin mendorong adanya koordinasi lintas kementerian dan lembaga untuk menjamin pasokan HGBT yang adil antara BUMN dan swasta.