JAKARTA, KOMPAS.com – Kementerian Perindustrian menilai pengetatan harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) berpotensi memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.
Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, mengatakan setidaknya 134.794 pekerja di sektor padat energi menggantungkan nasib pada kelancaran pasokan gas murah ini.
Apabila pasokan HGBT dikurangi hingga hanya memenuhi 48 persen kebutuhan, sebagian besar pekerja tersebut terancam kehilangan mata pencaharian.
Ancaman terbesar membayangi industri keramik, baja, petrokimia, oleokimia, kaca, pupuk, dan sarung tangan karet.
Baca juga: Kemenperin Ungkap 2 Juta Buruh Manufaktur Kena PHK Akibat Terdampak Relaksasi Impor
Ia mencatat dari jumlah yang terancam PHK, industri pupuk mencapai 10.420 pekerja, industri petrokimia 23.006 pekerja, industri oleokimia 12.288 pekerja, industri baja 31.434 pekerja, industri keramik 43.058 pekerja, industri kaca 12.928 pekerja, dan industri sarung tangan karet 1.660 pekerja.
“Angka ini adalah alarm serius. Setiap kebijakan yang menyangkut pasokan gas industri harus mempertimbangkan implikasinya terhadap keberlangsungan usaha dan kesejahteraan ratusan ribu keluarga yang menggantungkan hidup dari sektor ini,” ujar Febri melalui keterangan pers, Jumat (15/8/2025).
Kemenperin sendiri menerima banyak surat dan laporan dari industri pengguna HGBT yang merasakan dampak langsung kebijakan tersebut.
“Seolah-olah ini menjadi masalah klasik yang berulang. Padahal, HGBT adalah keputusan Presiden, yang sudah menetapkan baik harga 6,5 per dollar AS MMBtu dan keberlangsungan pasokannya,” paparnya. “Tidak seharusnya ada pihak atau lembaga yang mencoba melakukan subordinasi terhadap perintah Presiden tersebut dalam bentuk menaikkan harga di atas 6,5 dollar AS dan membatasi pasokannya,” lanjutnya.
Febri menjelaskan, pengetatan pasokan gas dengan harga khusus akan berimbas luas terhadap keberlangsungan industri manufaktur.
Gangguan suplai dan tingginya surcharge gas, seperti tarif yang dikenakan PT PGN sebesar 16,77 dollar AS per MMBTU, memberatkan pelaku usaha, terutama di sektor padat energi seperti industri keramik, kaca, baja, pupuk, petrokimia, dan oleokimia.
“Biaya energi merupakan komponen signifikan dalam struktur biaya produksi pada industri-industri tersebut. Kenaikan harga atau berkurangnya pasokan HGBT akan langsung menggerus margin keuntungan, menurunkan utilisasi pabrik, dan dalam jangka panjang menekan minat investor untuk menanamkan modal di sektor manufaktur, terutama pada industri di sektor pengguna padat energi,” ucap Febri.
Kemenperin mencatat beberapa sektor industri saat ini mulai menunjukkan penurunan utilisasi akibat kendala pasokan gas.
Misalnya, industri keramik nasional yang pada semester I-2025 baru mencapai tingkat utilisasi sekitar 70-71 persen, meski telah membaik dibandingkan tahun sebelumnya. “Jika pasokan gas terus terganggu, capaian ini bisa tergerus lagi, terutama industri pupuk yang akan memasok kebutuhan pupuk dalam program swasembada pangan Presiden Prabowo,” tambah Febri.
Ia menekankan bahwa penerima manfaat terbesar dari program HGBT selama ini justru berasal dari sektor BUMN, seperti PLN dan Pupuk Indonesia. “Di sisi lain, perusahaan industri swasta yang menjadi tulang punggung manufaktur nasional kerap mendapat perlakuan berbeda. Ini menciptakan ketimpangan yang tidak sehat dan berpotensi mengganggu iklim usaha,” ungkapnya.
Kebutuhan gas industri secara keseluruhan diperkirakan mencapai sekitar 2.700 MMSCFD, sementara volume HGBT yang tersedia hanya sekitar 1.600 MMSCFD.
Dari jumlah tersebut, sekitar 900 MMSCFD atau 50 persennya dialokasikan untuk BUMN. “Jika porsi untuk industri swasta semakin kecil, dampaknya akan langsung terasa pada penurunan kapasitas produksi, efisiensi usaha, dan bahkan potensi PHK massal,” imbuhnya.
Kemenperin berharap koordinasi lintas kementerian dan lembaga dapat segera dilakukan untuk memastikan ketersediaan HGBT yang adil dan merata. “Gas bumi adalah sumber energi strategis. Kebijakan terkait HGBT harus menjaga keseimbangan antara kebutuhan BUMN dan industri swasta, sehingga daya saing industri nasional tetap terjaga,” kata Febri.
Ia juga mengingatkan bahwa industri manufaktur merupakan penyumbang terbesar PDB nonmigas dan memiliki peran penting dalam menyerap jutaan tenaga kerja.
Baca juga: Aturan TKDN Diubah, Kemenperin: Bukan karena Kesepakatan Tarif Trump
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini