JAKARTA, KOMPAS.com - Harga beras di 214 kabupaten/kota di Indonesia masih tercatat tinggi, bahkan melebihi Harga Eceran Tertinggi (HET).
Kondisi ini terjadi meski Perum Bulog sudah menggelontorkan beras lewat program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).
Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan atau Zulhas, menyebut tren harga mulai bergerak turun sekalipun harga beras masih di atas HET.
“Kan sudah turun dibandingkan sebelumnya,” ujar Zulhas saat ditemui di Graha Mandiri, Jakarta Pusat, Kamis (4/9/2025).
Baca juga: Harga Beras Premium Masih Tinggi, Mentan Amran Janji Operasi Pasar Besar-besaran
Data Badan Pangan Nasional (Bapanas) menunjukkan bahwa dari 214 kabupaten/kota yang masih mencatat harga beras di atas HET, seluruhnya tersebar di 33 provinsi.
Jumlah daerah dengan harga beras yang mulai turun memang bertambah, dari 167 kabupaten/kota pada pekan ketiga Agustus menjadi 246 daerah pada awal September.
Namun, masih ada lebih dari dua ratus wilayah yang harga berasnya tetap membebani masyarakat.
Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan Badan Pangan Nasional, I Gusti Ketut Astawa, mengakui distribusi beras SPHP belum sepenuhnya merata.
Menurutnya, stok di ritel modern perlu diperkuat agar bisa menjadi penyeimbang harga.
"Penting bagi pemerintah mengupayakan distribusi beras SPHP ke ritel modern juga. Selama ini, ritel modern itu sebagai penyeimbang harga. Price maker. Artinya, di ritel modern harganya sesuai dengan HET, itu pasti. Maka, di pasar rakyat harganya tidak akan terlalu jauh berbeda dengan ritel modern. Kalau ritel modern sudah terpenuhi dengan baik, maka dengan sendirinya harga beras di pasar rakyat minimal flat," ucap Ketut.
Adapun, Bulog melaporkan penyaluran SPHP periode Juli - Desember hingga 3 September 2025 sudah mencapai 126,2 ribu ton dengan distribusi harian rata-rata 5,9 ribu ton.
Puncaknya terjadi pada 30 Agustus ketika hampir 10.000 ton dilepas ke pasar dalam sehari. Namun, angka-angka ini belum cukup menahan gejolak harga.
Di banyak pasar tradisional, harga masih melambung karena distribusi lebih banyak tersedot ke jalur tersebut. Kendala distribusi di lapangan belum terselesaikan.
Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Bulog, Mokhamad Suyamto, menyebut ada sekitar sepuluh kabupaten/kota, mayoritas di Papua, yang belum bisa dijangkau karena biaya angkut dari gudang Bulog sangat mahal.
Bulog bahkan mengusulkan pembukaan gudang filial atau gudang transit dengan memanfaatkan aset pemerintah daerah, TNI, maupun Polri agar distribusi lebih efisien.
Situasi ini menunjukkan bahwa meski pemerintah mengklaim stok cukup dan distribusi terus ditingkatkan, persoalan harga beras belum sepenuhnya tuntas.
Baca juga: Harga Beras Masih Mahal, Mentan: Anomali Ini Kita Perbaiki Bersama...
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini