Fokus utama pasar, menurut Imam, tertuju pada tiga indikator penting. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III diperkirakan melambat ke kisaran 4,8 persen, sedikit di bawah kuartal sebelumnya.
Sementara itu, indeks manufaktur diproyeksikan masih berada di zona ekspansif meski menurun ke 50,4 akibat kenaikan biaya produksi dan lemahnya permintaan ekspor.
Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data inflasi awal pekan ini. Konsensus memperkirakan inflasi tahunan akan melandai menjadi 2,59 persen (yoy) dari 2,65 persen (yoy) pada September, menandakan stabilitas harga yang relatif terjaga.
Dari sisi eksternal, sentimen pasar menguat setelah Amerika Serikat dan China mencapai kesepakatan dagang dalam pertemuan bilateral di Busan, Korea Selatan, pada 30 Oktober 2025. Kedua negara sepakat menurunkan tarif impor produk China dari 57 persen menjadi 47 persen, sementara China berkomitmen membeli kembali 12 juta ton kedelai dari AS hingga Januari 2026.
Kesepakatan itu juga mencakup penundaan pembatasan ekspor rare earth selama satu tahun dan penurunan tarif fentanyl AS dari 20 persen menjadi 10 persen. Langkah tersebut disambut positif pelaku pasar karena dinilai dapat menurunkan tensi ketegangan perdagangan global.
Optimisme tersebut turut memicu aliran dana asing masuk ke pasar domestik.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), investor asing mencatatkan net buy senilai Rp 2,2 triliun, meskipun IHSG sempat melemah di awal pekan akibat isu revisi perhitungan free float pada saham-saham berkapitalisasi besar.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang