PADA 3 Juni 2025, suasana forum internasional Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Hotel Pullman, Jakarta, mendadak tegang.
Di tengah pidato Wakil Menteri Luar Negeri, Arief Havas Oegroseno, sekelompok aktivis Greenpeace bersama empat anak muda Papua membentangkan spanduk bertuliskan “Nickel Mines Destroy Lives” dan “Save Raja Ampat from Nickel Mining”.
Aksi damai itu merupakan bentuk perlawanan terhadap ekspansi tambang nikel yang mengancam tanah dan laut Raja Ampat—sebuah kawasan yang kerap dijuluki sebagai “surga terakhir di Bumi”.
Alih-alih diperlakukan sebagai ekspresi damai yang dijamin konstitusi, keempat aktivis tersebut justru ditangkap dan diamankan polisi ke Polsek Grogol Petamburan, Jakarta.
Penangkapan tersebut mencerminkan kecenderungan negara yang menyempitkan ruang kebebasan berpendapat, sekaligus memperlihatkan bagaimana hukum kerap berpihak pada stabilitas semu ketimbang pada keadilan substantif.
Raja Ampat bukan hanya destinasi wisata, melainkan rumah bagi masyarakat adat, habitat bagi 75 persen spesies karang dunia, dan wilayah konservasi yang diakui UNESCO sebagai Global Geopark.
Baca juga: Bahlil Setop Sementara Kegiatan Tambang Nikel di Raja Ampat
Namun, lebih dari 500 hektare hutan telah dibabat untuk tambang nikel. Pelbagai pulau kecil, seperti Gag, Kawe, dan Manuran dijarah, padahal pelindungan hukum telah ditegaskan dalam UU No. 1 Tahun 2014 yang melarang aktivitas tambang di pulau kecil.
Aktivitas tambang mengancam hak atas lingkungan hidup yang sehat sebagaimana dijamin Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945 dan Pasal 12 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR).
Hak masyarakat adat atas wilayah ulayat yang telah ditegaskan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 35/PUU-X/2012 pun terancam dikaburkan demi dalih hilirisasi.
Jika ditinjau melalui perspektif teori critical legal studies, hukum pembangunan sering kali menyamarkan ketimpangan dan eksploitasi sebagai kemajuan.
Narasi hilirisasi nikel tidak netral—melainkan menjadi alat pembenaran atas perampasan ruang hidup komunitas lokal, sekaligus menyingkirkan suara-suara pinggiran dalam pengambilan keputusan.
Hukum yang seharusnya membela kelompok lemah justru membiarkan yang kuat menguasai.
Pun, pendekatan ecological justice mengingatkan kita bahwa keadilan lingkungan tak hanya soal distribusi beban ekologis, melainkan juga pengakuan atas suara komunitas lokal dan hak mereka untuk menentukan masa depan lingkungan hidupnya.
Ketika masyarakat Papua tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, maka keadilan ekologis telah diingkari.
Sayangnya, negara (seolah) masih melihat Papua sebagai objek kebijakan, bukan subjek hak. Seruan “Papua bukan tanah kosong” sejatinya bukan sekadar frasa, melainkan koreksi terhadap cara pandang lama yang memosisikan wilayah Timur Indonesia sebagai ruang terbuka bagi eksploitasi.