
DI TENGAH derasnya arus informasi digital, masyarakat Indonesia kembali diguncang beredarnya video yang menampilkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dengan pernyataan seolah-olah guru adalah beban negara.
Video tersebut seketika memantik amarah, kekecewaan, dan perdebatan sengit di media sosial.
Namun, tidak lama berselang, Kementerian Keuangan membantah kebenaran video itu dan menegaskan bahwa konten tersebut merupakan hasil manipulasi digital—deepfake—yang memotong konteks pidato sang menteri secara serampangan.
“Video yang beredar luas tersebut adalah hoaks, hasil manipulasi digital, dan bukan pernyataan Ibu Menteri Keuangan,” demikian penegasan Kemenkeu dalam rilis resminya (19/8).
Sementara Sri Mulyani menambahkan, “Saya tidak pernah mengatakan guru adalah beban negara. Justru dalam banyak kesempatan saya menekankan pentingnya mendukung guru dan dosen agar kualitas pendidikan Indonesia meningkat.”
Baca juga: Deepfake Sri Mulyani dan Kacaunya Publik Indonesia di Tengah AI
Kutipan ini bukan sekadar bantahan, melainkan pengingat bahwa video deepfake bisa merusak reputasi publik sekaligus menyesatkan masyarakat luas dalam sekejap mata.
Kasus ini muncul bertepatan dengan suasana bulan kemerdekaan RI. Saat bangsa kita memperingati 80 tahun Indonesia merdeka, ruang publik seharusnya dipenuhi semangat kebersamaan dan refleksi perjuangan.
Namun, justru kita dihadapkan pada tantangan baru penjajahan digital dalam bentuk manipulasi informasi.
Jika dahulu para pendiri bangsa berjuang melawan kolonialisme dengan bambu runcing, kini kita ditantang melawan kolonialisme baru berupa hoaks dan deepfake yang menusuk kesadaran bangsa.
Sebagai generasi muda yang lahir dan tumbuh di desa, saya merasakan betul betapa cepatnya informasi semacam itu menyebar di lini masa WhatsApp keluarga, forum komunitas RT, hingga percakapan warung kopi.
Ketika informasi diproduksi dalam bentuk teks, biasanya masyarakat masih cenderung skeptis dan membandingkan dengan sumber lain.
Namun, ketika informasi hadir dalam format video dengan wajah, intonasi, dan suara yang menyerupai tokoh publik, kemampuan kritis itu sering kali runtuh.
“Kalau sudah ada videonya, berarti benar,” begitu kira-kira logika sederhana yang hidup dalam benak banyak orang desa maupun kota.
Bahaya deepfake jelas nyata, ia menggerus batas antara fakta dan manipulasi, memaksa masyarakat menelan informasi palsu dengan keyakinan seolah itu kebenaran.
Jika kita tilik lebih dalam, kasus video palsu Sri Mulyani bukan sekadar persoalan citra seorang pejabat atau kredibilitas kementerian. Ia adalah refleksi dari tantangan besar bangsa kita dalam menghadapi era disrupsi digital.