JAKARTA, KOMPAS.com - Kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan perkara 155/PUU-XXIII/2025, pemohon yang merupakan Taufik Umar dan Timbul G Simarmata merasa pernah mendapatkan ancaman hak hidup lantaran kolom agama ada di KTP mereka.
Kuasa Hukum Pemohon, Teguh Sugiharto, mengatakan, pemohon pernah mengalami ancaman saat tinggal di Kota Poso, Sulawesi Tengah.
"Jadi, Taufik ini dalam perjalanan dari Poso ke Kota Palu itu beberapa kali menemukan sweeping KTP, yang mana pada waktu itu Taufik Umar mengetahui banyak yang mengalami kekerasan bahkan pembunuhan karena identitas di kolom agama," kata Teguh, saat menghadiri sidang lewat sambungan video, Rabu (3/9/2025).
Baca juga: MK Tolak Gugatan Hapus Kolom Agama di Kartu Keluarga
Atas dasar kerugian yang mengancam hak warga negara untuk hidup tersebut, pemohon meminta MK untuk menghapus kolom agama dalam KTP.
Pemohon juga mendalilkan buku tentang konflik Poso yang ditulis mantan Kapolri, Jenderal Polisi (Purn) Tito Karnavian, yang kini menjabat Menteri Dalam Negeri RI.
Teguh mengatakan, banyak korban kekerasan dan pembunuhan yang diakibatkan oleh sweeping dan kolom KTP agama dalam konflik tersebut.
"Oleh karena negara tidak bisa dipastikan menjamin keselamatan dalam situasi serupa yang mungkin terjadi lagi, oleh karena itu kami memohon agar setidaknya mengurangi risiko hilangnya hak hidup, tercabutnya hak hidup, dan juga penghinaan hanya karena dengan mudah mengidentifikasi agama kita," kata Teguh.
Dalam petitumnya, pemohon meminta agar Pasal 61 Ayat 1 dan Pasal 64 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang berkaitan dengan kata "agama" dan "kepercayaan" dianggap tidak ada.
Baca juga: Sidang MK soal Polisi Duduki Jabatan Sipil Ditunda karena Pihak DPR Belum Siap
Perkara serupa juga pernah diputuskan MK pada Januari 2025 dengan nomor perkara 146/PUU/XXII/2024.
Saat itu, MK menolak dengan mempertimbangkan bahwa setiap warga negara harus menyatakan memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan keniscayaan sebagaimana diharapkan oleh Pancasila dan diamanatkan oleh Konstitusi.
"Pembatasan yang demikian merupakan pembatasan yang proporsional dan tidak diterapkan secara opresif dan sewenang-wenang," ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Arief mengatakan, setiap warga negara hanya diwajibkan menyebut agama dan kepercayaannya untuk kemudian dicatat dan dibubuhkan dalam data kependudukan tanpa adanya kewajiban hukum lain yang dibebankan oleh negara dalam kaitannya dengan agama atau kepercayaan yang dipilih, selain kewajiban untuk menghormati pembatasan sebagaimana dinyatakan dalam UUD NRI Tahun 1945.
Baca juga: Jangan Lagi Stecu: Final, MK Larang Wamen Rangkap Jabatan
MK menegaskan, dalam amanat UUD NRI 1945 dan dicita-citakan dalam ideologi bangsa, tidak beragama atau tidak menganut kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat dinilai sebagai kebebasan beragama atau kebebasan menganut kepercayaan.
"Dengan demikian, dalil para pemohon mengenai anggapan inkonstitusional Pasal 61 Ayat 1 dan Pasal 64 Ayat 1 UU Administrasi Kependudukan, sebagaimana telah dimaknai Mahkamah dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XVI/2016, adalah tidak beralasan menurut hukum," ujar dia.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini