JAKARTA, KOMPAS.com - Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam sidang perkara nomor 154/PUU-XXIII/2025, pemohon bernama Hanter Oriko Siregar meminta agar syarat menjadi anggota DPR dan DPRD minimal berpendidikan S1 atau sederajat.
Dalam gugatannya, Hanter tidak hanya meminta MK menyatakan syarat pendidikan minimal S1 untuk DPR, tetapi juga untuk calon presiden dan wakil presiden, serta untuk calon kepala daerah.
Alasannya, di saat negara mewajibkan minimal pendidikan S1 untuk seorang guru sekolah dasar, negara justru melanggengkan jabatan-jabatan strategis negara minimal SMA saja.
Baca juga: Syarat Capres Kembali Digugat ke MK agar Minimal S1
"Sementara negara mewajibkan guru sekolah dasar minimal lulusan pendidikan S1, adalah sebuah ironi di mana guru SD hanya bertanggung jawab terhadap anak muridnya sebatas pada lingkungan sekolah yang sangat kecil," kata permohonan yang dibacakan dalam sidang, Rabu (3/9/2025).
"Jika dibandingkan negara dengan kompleksitasnya dan kerumitan dalam membuat rancangan undang-undang yang harus mempertimbangkan segala aspek," ucapnya lagi.
Menurut pemohon, syarat pendidikan yang terlalu rendah untuk calon anggota DPR, calon kepala daerah hingga calon presiden ini akan berdampak pada kualitas keputusan strategis yang langsung berdampak pada warga negara.
"Karena itu, pemohon merasa sangat dirugikan hak konstitusionalnya jika presiden dan wakil presiden menjadi bahan pergunjingan dan olok-olokan di berbagai platform sosial media sebagai akibat kepemimpinan yang buruk dan minimnya kapasitas. Seperti ketidakmampuan membedakan antara hutan dan perkebunan sawit, antara asam sulfat dan asam folat, dan sebagainya," tutur pemohon.
Baca juga: Kolom Agama di KTP Digugat ke MK, Pemohon Kutip Buku Karya Tito Karnavian
Terhadap permohonan ini, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan terkait dengan pengujian Pasal 169 huruf r UU Pemilu, telah dimaknai oleh Putusan MK Nomor 87/PUU-XXIII/2025.
Sebab itu dia mendorong agar pemohon mengusulkan alasan-alasannya ini kepada pembentuk undang-undang yang sedang melakukan revisi UU Pemilu.
"Kenapa tidak mendorong ke proses legislasi untuk memasukkan persyaratan pendidikan tersebut sebagai bentuk partisipasi publik kepada pembentuk undang-undang. Ini harus dijelaskan dengan bangunan argumentasi yang kuat, bagaimana MK dapat bergeser dengan putusannya itu,” jelas Enny.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini