Salin Artikel

PBB Pati Naik 250 Persen: Minimnya Teknokratisme dan Gaya Bicara Menyinggung

Alih-alih menjadi periode akselerasi, tak sedikit kepala daerah justru tersandera pada keraguan, stagnasi, bahkan keengganan untuk melakukan inovasi pembangunan.

Dalam percakapan saya dengan sejumlah kepala daerah, banyak di antara mereka yang mengaku berada dalam posisi dilematis ketika hendak menyalurkan belanja daerah.

Alasannya cukup kompleks. Pertama, adanya kekhawatiran bahwa kebijakan belanja yang diambil akan bertentangan dengan arahan pemerintah pusat, terutama dalam konteks program-program strategis nasional yang cenderung top-down.

Kedua, dinamika regulasi yang berubah cepat tanpa disertai mekanisme transisi yang jelas sering kali menyebabkan keraguan dalam mengeksekusi program-program inovatif.

Ketiga, ruang fiskal daerah yang sempit karena sebagian besar alokasi dana sudah ‘disetting’ untuk membiayai agenda pusat, menjadikan belanja publik untuk pembangunan seringkali menjadi prioritas nomor dua.

Jika kita melihat data pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025, ekonomi nasional hanya tumbuh sebesar 4,87 persen—melambat dari kuartal sebelumnya (5,02 persen) dan lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu (5,11 persen).

Ini jelas menunjukkan tekanan eksternal masih membayangi, mulai dari kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat hingga ketidakpastian geopolitik yang menahan laju investasi. Pada kuartal II-2025, pertumbuhan membaik menjadi 5,12 persen.

Pertanyaannya, apakah angka tersebut benar-benar mencerminkan realitas ekonomi masyarakat? Atau hanya pencapaian angka makro tanpa makna mikro?

Kenaikan pajak di Pati

Dalam kondisi ekonomi yang masih rapuh, mendongkrak fiskal daerah tentu menjadi prioritas semua kepala daerah.

Sebab, ekonomi daerah yang kuat akan memberi kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satu cara yang paling cepat—tapi belum tentu tepat—adalah menaikkan pendapatan asli daerah (PAD), termasuk lewat kenaikan pajak.

Di sinilah kontroversi terbaru dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah, mencuat ke permukaan. Kebijakan Bupati Sudewo yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen pada 2025, menuai kritik tajam dari masyarakat.

Alasan yang dikemukakan adalah karena tarif PBB belum pernah naik selama 14 tahun, sehingga penyesuaian dianggap wajar guna mendukung pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik.

Namun, yang menjadi sorotan bukan hanya soal angka persentase kenaikannya, melainkan cara berkomunikasi dan minimnya pendekatan teknokratis dalam kebijakan tersebut.

Alih-alih memberikan argumentasi berbasis data dan mengedepankan partisipasi publik, Bupati Pati justru melontarkan pernyataan yang mengusik hati masyarakat: "Siapa yang akan melakukan penolakan? Silakan lakukan. Jangan hanya 5.000 orang, 50.000 orang saja suruh kerahkan. Saya tidak akan gentar, saya tidak akan mengubah keputusan."

Pernyataan ini tidak hanya menyinggung nalar publik, tetapi juga menunjukkan absennya semangat demokrasi dalam proses perumusan kebijakan.

Komunikasi pejabat publik bukan sekadar soal keberanian, tetapi tentang kepekaan, keteladanan, dan etika melayani.

Ketika seorang kepala daerah berbicara dengan gaya konfrontatif seperti itu, maka yang muncul bukan legitimasi, melainkan resistensi.

Teknokratisme yang absen

Kenaikan pajak adalah instrumen fiskal yang sah, tetapi tidak boleh dilakukan secara sepihak tanpa proses teknokratik yang memadai.

Pertanyaannya: apakah kebijakan kenaikan PBB-P2 ini telah melalui pembahasan terbuka dengan DPRD? Apakah telah dilakukan konsultasi dan koordinasi dengan Kemendagri dan Kementerian Keuangan?

Apakah kajian daya beli masyarakat, koefisien gini, tingkat inflasi lokal, serta ketimpangan spasial dan ekonomi antardesa telah dianalisis secara menyeluruh?

Jika semua itu belum dilakukan, maka kebijakan ini bukan hanya bermasalah secara sosial, tetapi juga cacat secara prosedural dan teknokratis.

Teknokratisme menuntut bahwa setiap kebijakan publik harus lahir dari proses perencanaan yang berbasis bukti (evidence-based), partisipatif, rasional, serta akuntabel.

Pemerintah daerah seharusnya menempatkan rakyat bukan hanya sebagai objek kebijakan, tetapi sebagai subjek deliberatif dalam proses pembuatan kebijakan. Tanpa ini, maka yang terjadi bukanlah pembangunan, melainkan pemaksaan.

Melihat kebijakan ini, ingatan kita seperti ditarik mundur ke era kolonial, ketika rakyat ditindas oleh sistem perpajakan yang tidak adil.

Dalam buku “Sejarah Indonesia,” karya Sardiman AM dan Amurwani Dwi Lestariningsih (2013), disebutkan betapa mencekiknya sistem pajak pada masa Van der Capellen: pajak tanah (welah-welit), pajak pekarangan (pengawang-awang), pajak jumlah pintu rumah (pecumpling), pajak ternak (pajigar), hingga pajak jalanan yang dikenakan pada ibu yang menggendong anak.

Semua itu menunjukkan bagaimana sistem kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyat akan selalu menciptakan penderitaan struktural.

Maka, ketika kita menyaksikan pemimpin daerah hari ini berbicara dengan nada otoriter kepada rakyatnya, itu bukan sekadar masalah komunikasi—melainkan refleksi bahwa feodalisme belum sepenuhnya hilang dari wajah birokrasi.

Pengarusutamaan Rakyat

Sudah waktunya kepala daerah memandang rakyat sebagai poros utama dalam proses kebijakan publik.

Kenaikan pajak sah secara hukum, tetapi harus berpijak pada tiga prinsip utama: transparansi, akuntabilitas, dan keadilan sosial.

Pemerintah harus mampu menjawab tiga pertanyaan penting sebelum menerbitkan kebijakan fiskal yang sensitif: apakah kebijakan ini berdasarkan kajian akademik dan analisis fiskal yang matang?

Apakah masyarakat telah diberi ruang partisipasi dan konsultasi publik secara bermakna (meaningful participation)? Apakah hasil dari pajak ini akan kembali dirasakan secara konkret oleh masyarakat?

Jika salah satu dari tiga hal tersebut belum terpenuhi, maka kebijakan tersebut belum layak dijalankan.

Kebijakan publik bukan soal keberanian mengambil keputusan, tetapi tentang kemampuan melibatkan dan membahagiakan masyarakat lewat keputusan yang adil dan solutif.

Kita tentu masih ingat bagaimana Dirut PT KAI, Didiek Hartantyo, secara terbuka membungkuk dan meminta maaf kepada masyarakat karena kereta Argo Bromo Anggrek mengalami anjlok.

Tindakan itu memang simbolis, tetapi mengandung makna mendalam tentang kesadaran etik seorang pemimpin: tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi daripada melayani rakyat dengan ketulusan dan kehangatan.

Sebagaimana yang pernah saya tulis dalam opini sebelumnya, “Pejabat di Publik: Ngomong Penting atau yang Penting Ngomong?”, jangan sampai komunikasi pejabat publik justru menyayat hati rakyat.

Etika komunikasi dalam pelayanan publik seharusnya mengedepankan kejujuran, penghormatan, tanggung jawab, dan konsistensi.

Tidak ada ruang bagi arogansi di tengah rakyat yang sedang bergelut dengan himpitan ekonomi dan ketidakpastian.

Kasus Pati menjadi contoh penting betapa teknokratisme tidak boleh dilupakan dalam setiap kebijakan publik.

Kepala daerah tidak bisa hanya mengandalkan legitimasi elektoral tanpa diimbangi dengan legitimasi moral dan teknokratis. Pemerintahan yang sehat adalah pemerintahan yang menempatkan rakyat sebagai mitra, bukan ancaman.

Saatnya kita menata ulang orientasi kepemimpinan daerah—dari yang sekadar populis dan otoriter menjadi reflektif, partisipatif, dan transformatif.

Karena membangun daerah bukan soal siapa yang paling lantang bersuara, tapi siapa yang paling tulus mendengar dan paling cermat menghitung.

https://regional.kompas.com/read/2025/08/07/11321231/pbb-pati-naik-250-persen-minimnya-teknokratisme-dan-gaya-bicara-menyinggung

Bagikan artikel ini melalui
Oke