KOMPAS.com - Pengunjung Candi Borobudur yang berada di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dahulu kemungkinan pernah mencoba merogoh stupa.
Ternyata, aktivitas tersebut bukan hanya karena iseng. Itu karena adanya mitos dan cerita rakyat.
Salah satu mitos yang cukup populer dan masih dipercayai hingga kini adalah mitos Kunto Bimo, yang mengundang rasa penasaran wisatawan hingga membuat mereka tergoda untuk merogoh ke dalam stupa-stupa candi.
Baca juga: Jangan Merogoh Stupa Candi Borobudur, Sebabkan Kerusakan
Candi Borobudur yang diresmikan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO pada tahun 1991, memiliki tiga barisan melingkar yang dimahkotai oleh 72 stupa berlubang berbentuk belah ketupat.
Di dalam setiap stupa tersebut terdapat arca Buddha dalam posisi duduk bersila dengan mudra Dharmachakra, lambang memutar roda Dharma.
Mitos yang berkembang di kalangan masyarakat lokal menyebutkan bahwa siapa pun yang bisa menyentuh bagian tertentu dari arca Buddha di dalam stupa tersebut akan mendapatkan keberuntungan atau terkabul keinginannya.
View this post on Instagram
Ada aturan tak tertulis yang bahkan membedakan berdasarkan gender. Pria konon harus menyentuh jari manis atau kelingking, sedangkan perempuan dianjurkan menyentuh telapak kaki, tumit, atau ibu jari kaki dari arca tersebut.
Secara etimologis, istilah "Kunto Bimo" berasal dari bahasa Jawa: kunto berarti "mengira-ngira" atau "permintaan", dan bimo berarti "pantang menyerah".
Maka, mitos ini bermakna suatu bentuk permintaan yang dilakukan dengan keyakinan dan ketekunan.
Meski mitos ini begitu melekat di benak banyak pengunjung, para ahli sejarah dan arkeologi justru memiliki pandangan berbeda.
Soekmono, arkeolog yang pernah memimpin pemugaran Candi Borobudur, menyatakan bahwa mitos Kunto Bimo tidak memiliki dasar dalam ajaran Buddha.
Baca juga: Arupadhatu, Bagian Atas Candi Borobudur yang Dikunjungi Prabowo dan Macron
Ia menyebut, kepercayaan ini muncul sekitar tahun 1950-an sebagai cara oknum petugas untuk menarik minat wisatawan dan menambah pendapatan.
Salah satu caranya adalah dengan menaburkan bunga dan uang pada arca dalam stupa, menciptakan kesan mistis dan sakral.
August Johan Bernet Kempers, arkeolog asal Belanda, dalam bukunya Ageless Borobudur juga menyinggung fenomena serupa.
Ia mencatat bahwa perilaku mengistimewakan arca Buddha di bagian Arupadatu (bagian atas Borobudur) tidak diketahui asal-usulnya secara pasti.