KOMPAS.com - Bali selama ini memang dikenal sebagai destinasi wisata kelas dunia. Banyak orang dari seluruh dunia berkunjung ke sana.
Kombinasi antara keindahan alam dan kekayaan budaya, membuat banyak wisatawan penasaran untuk bisa menyaksikannya.
Namun, seiring berjalannya waktu, wajah Bali kini semakin diperdebatkan. Media asing, seperti BBC ikut menyorotinya.
Baca juga: Cerita Turis AS Gagal Liburan ke Bali karena Halaman Paspornya Penuh
Gambaran Bali yang romantis dan menenangkan kerap dibagikan lewat media sosial: matahari terbenam yang memukau, kafe estetik, hingga minuman tropis nan segar.
Namun bagi sebagian wisatawan, kenyataan yang ditemui justru berbeda. Sampah yang menumpuk di pantai, macet di jalanan, dan hiruk-pikuk pembangunan sering kali mengaburkan citra “surga spiritual” yang dulu dijanjikan.
Dilansir dari laman BBC, salah satunya dialami wisatawan bernama Zoe Rae. Dengan ekspektasi tinggi setelah melihat potret Bali di Instagram, ia merasa kecewa ketika akhirnya tiba.
Alih-alih menikmati ulang tahun di Bali, Zoe memutuskan untuk pindah ke Dubai secara mendadak.
Namun menurut Hollie Marie, kreator konten asal Inggris yang kini menetap di Bali, banyak wisatawan hanya terjebak di area populer yang penuh kafe dan spot Instagramable.
Padahal, Bali masih menyimpan pesona alam otentik, mulai dari menyelam di laut utara hingga menyaksikan matahari terbit.
Baca juga: Bandara Bali Buka 2 Rute Baru ke China dan Korea Selatan, Pasar Penting Pariwisata
Hal serupa juga diungkapkan Canny Claudya, yang menilai masalah utama ada pada pilihan lokasi wisata: “Kalau merasa Bali terlalu padat, berarti Anda salah memilih tempat.”
Penduduk setempat justru merasakan dampak paling nyata dari ledakan pariwisata. Ni Kadek Sintya, misalnya, mengenang masa ketika ia bisa berkendara dengan tenang melewati sawah di Canggu.
Kini, kawasan itu berubah menjadi salah satu titik macet terparah di Bali. Desa nelayan yang dulunya sepi pun bertransformasi menjadi magnet peselancar internasional, mengikuti jejak Uluwatu dan Seminyak.
Baca juga: Usai Banjir Besar, Bali Akan Setop Izin Pembangunan Hotel di Lahan Produktif
Peneliti I Made Vikannanda menilai kekecewaan wisatawan pada Bali yang semakin padat sebenarnya disebabkan oleh ulah wisatawan itu sendiri.
Peningkatan hotel, kafe, dan vila—khususnya milik investor asing, mendorong pembangunan yang menggerus sawah, pura, hingga struktur sosial masyarakat lokal.
Selain masalah infrastruktur, citra Bali juga kerap tercoreng oleh ulah turis nakal. Kasus kecelakaan skuter akibat mabuk, perilaku tak senonoh di area suci, hingga deportasi wisatawan asing menjadi berita rutin.
Bahkan, aparat sempat memperingatkan keterlibatan warga asing dalam tindak kriminal, termasuk narkotika.
Kondisi Pasar Badung di Denpasar, pasca-banjir bandang pada Rabu (10/9/2025).Di sisi lain, dampak lingkungan semakin terasa. Lebih dari 65 persen pasokan air tawar Bali terserap untuk kebutuhan resor dan kolam renang, sehingga banyak desa harus bergantung pada air tanah.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran atas keberlanjutan ekosistem dan kehidupan penduduk lokal.
Baca juga: Pengusaha Hotel Dorong Perbaikan Akses Wisata Pasca-Banjir Bali
Belum lagi musibah banjir bandang yang menerjang Kota Denpasar pada awal September 2025.
Banjir ini disebabkan karena kawasan daerah aliran sungai (DAS) Ayung yang makin minim pepohonan karena alih fungsi lahan.
Meski pariwisata membuat Bali semakin mendunia, pertumbuhan ekonomi justru menunjukkan tanda melambat.
Pada 2024, ekonomi Bali hanya tumbuh 5,5 persen, turun dari 5,7 persen pada 2023. Salah satu penyebabnya adalah menurunnya rata-rata pengeluaran wisatawan mancanegara.
Dengan kata lain, jumlah turis mungkin meningkat, tetapi kualitas belanja mereka tidak memberikan dampak signifikan.
Baca juga: Bali Mulai Masuk Musim Hujan, Kadispar Imbau Informasi untuk Turis Harus Jelas
Kini, Bali berdiri di persimpangan. Pulau ini masih menyimpan keindahan dan kekayaan budaya, tetapi juga menghadapi ancaman akibat popularitasnya sendiri.
Pertanyaan besar pun muncul: apakah Bali bisa menjaga keseimbangan antara pariwisata dan kelestarian, atau justru akan terus terkikis oleh bayangan ekspektasi yang diciptakan dunia luar?
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang