KULON PROGO, KOMPAS.com - Ribuan peserta dari berbagai daerah di Indonesia memadati Alun-Alun Wates, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), untuk mengikuti Geladen Ageng Jemparingan (panahan tradisional) Nasional, Minggu (27/10/2025).
Jemparingan ajang pelestarian budaya panahan tradisional bergaya Mataram yang sekaligus jadi salah satu kemeriahan Kulon Progo merayakan Hari Jadi ke-74.
Sebanyak 1.474 peserta tercatat mengikuti ajang ini, menjadikannya rekor baru Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) untuk kategori peserta jemparingan terbanyak.
Baca juga: Jemparingan, Olahraga Panahanan Khas Kerajaan Mataram
Tak hanya itu, tahun ini penyelenggaraan juga menorehkan catatan baru lewat sistem pendaftaran digital pertama untuk peserta jemparingan.
“Tahun ini peserta mendaftarkan diri secara online ya. Kemudian, kelompoknya dihitung jumlahnya sampai kemarin saja tergitung 1.474. Harapannya semua mengikuti,” ujar Sutarman, Penjabat Kepala Dinas Pariwisata Kulon Progo.
Jemparingan (panahan tradisional yang berasal dari lingkungan Keraton Yogyakarta) memiliki gaya khas.
Dalam jemparingan, pemanah tidak berdiri tegak seperti atlet modern. Mereka duduk bersila di tanah, memegang busur yang disebut gandewa, dan melepaskan anak panah (jemparing) menuju sasaran berupa bandul yang berjarak sekitar 30 meter.
Pesertanya sekelompok orang yang bersila sambil mengenakan pakaian tradisional lengkap dengan beskap, jarit, kaki berbalut sandal selop dan blangkon di kepala.
Inilah jemparingan, seni memanah tradisional Jawa yang tak sekadar olahraga, tetapi juga laku spiritual dan filosofi hidup.
Bagi masyarakat Jawa, jemparingan bukan hanya soal ketepatan membidik sasaran. Ia adalah cara untuk ngraoske urip (merasakan hidup dengan tenang, penuh kesadaran).
Kemeriahan Gladhen Hageng Jemparingan Nasional 2025 di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta."Karena keistimewaan ini jadi diharapkan bisa nguri-nguri (melestarikan) budayanya. Karena kan sebenarnya juga jemparingan itu dulunya dilakukan oleh prajurit keraton gitu ya," kata Sutarman.
Kini, olahraga tradisional ini telah berkembang luas di berbagai daerah, mulai dari Yogyakarta, Solo, hingga luar Jawa. Pemerintah Kulon Progo menggelar ajang ini sebagai bentuk kebanggaan terhadap budaya dan sekaligus promosi wisata daerah.
Geladen tahun ini diikuti kontingen dari berbagai wilayah Nusantara, menunjukkan luasnya penyebaran jemparingan.
Baca juga: Awal Mula Jemparingan, Seni Memanah Khas Keraton Yogyakarta
“Awalnya dari Yogyakarta, meliputi empat kabupaten dan satu kota, lalu dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, hingga Bali,” tutur Sutarman.
Bagi sebagian peserta, jemparingan bukan sekadar olahraga, tetapi juga cara untuk nguri-uri kabudayan—melestarikan budaya sekaligus menata batin.
Salah satu peserta asal Bali, I Dewa Made Kasama Biputra, mengungkapkan filosofi mendalam di balik jemparingan.
Kemeriahan Gladhen Hageng Jemparingan Nasional 2025 di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta."Dari jemparingan kami belajar tentang kehidupan. Busur itu ibarat ayah yang kokoh tapi lentur, tali busur adalah ibu yang mendorong, dan anak panah itu anak yang punya arah sendiri. Jadi, memanah bukan hanya soal teknik, tapi juga tentang rasa dan keseimbangan,” kata Dewa.
Pertandingan berlangsung dalam 15 kali rambahan atau putaran. Setiap peserta melepas empat anak panah dalam setiap putaran.
Para peserta melepaskan anak panah ke bandul yang menggantung sebagai sasaran. Suasana penuh kegembiraan terasa di antara peserta ketika sasaran terpanah, meski tanpa sorak kemenangan yang hingar-bingar—hanya senyum tenang dan rasa syukur.
Baca juga: Sejarah Jemparingan, Olahraga Panahan yang Ada Sejak Sri Sultan HB I
Sebab, bagi mereka, jemparingan bukan sekadar soal siapa yang paling tepat membidik sasaran, melainkan siapa yang paling mampu menundukkan ego dan mendengarkan suara jiwa.
Sementara, Ina Yaturohmah dari Tasikmalaya, menilai ajang ini memperkuat semangat kebersamaan.
“Kami datang dari Jawa Barat, latihan setiap minggu. Selain melestarikan budaya, ini juga jadi ajang silaturahmi dan wisata budaya yang menarik,” katanya.
Bagi Dinas Pariwisata, kegiatan ini bukan hanya pelestarian budaya, tetapi juga strategi promosi wisata.
Ribuan peserta dan penonton dari luar daerah memberikan dampak ekonomi nyata bagi pelaku UMKM setempat.
Kemeriahan Gladhen Hageng Jemparingan Nasional 2025 di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.Dampak selanjutnya harapannya tumbuh hingga ke desa wisata-desa wisata yang ada di Kon Progo.
“Di berbagai desa wisata nanti akan ada komunitas jemparingan. Wisatawan bisa mencoba jemparingan bahkan menjadi atlet,” ujar Sutarman.
Baca juga: Jemparingan, Olahraga Memanah Tradisional Digemari di Berbagai Daerah
Perwakilan MURI, Sri Widayati, menyebut rekor kali ini tergolong spektakuler. Sebelumnya rekor jemparingan terbanyak hanya 371 peserta pada 2013. Sekarang mencapai 1.474 peserta. Hasil ini tercatat sebagai rekor dunia MURI ke-12.476.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang