Melalui proses spiritual dan pertimbangan simbolik, dipilihlah Bukit Merak sebagai lokasi baru. Pemilihan tempat tinggi ini berkaitan dengan kepercayaan kuno bahwa roh leluhur akan bersemayam di tempat yang tinggi.
Menurut catatan KIKOMUNAL Kemenkumham RI, Sultan Agung sebenarnya ingin dimakamkan di Tanah Suci Mekah.
Namun, seorang ulama sahabatnya menyarankan agar makamnya tetap berada di tanah Jawa agar rakyat Mataram dapat berziarah. Sebagai gantinya, Sultan Agung membawa segenggam tanah harum dari Mekah dan menebarkannya di tanah Jawa.
Tanah itu jatuh di daerah Giriloyo dan Bukit Merak, yang kemudian menjadi dasar pembangunan makam.
Baca juga: Sri Susuhunan Pakubuwono XIII Wafat, Pemakaman Raja Keraton Solo Akan Dilakukan di Imogiri
Setelah wafat pada tahun 1645, Sultan Agung dimakamkan di kompleks tersebut. Makam beliau menjadi makam induk (Kasultanagungan) dan menjadi awal tradisi pemakaman para penerusnya.
Pasca Perjanjian Giyanti (1755), kerajaan Mataram terbagi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Pembagian ini juga berpengaruh pada area pemakaman Imogiri. Bagian barat untuk raja-raja Surakarta, dan bagian timur untuk raja-raja Yogyakarta.
Nama Pajimatan Imogiri sendiri memiliki makna filosofis. Kata pajimatan berasal dari kata “jimat” yang berarti pusaka, sedangkan imogiri atau imagiri berasal dari kata “ima/hima” (awan) dan “giri” (gunung).
Secara harfiah, Pajimatan Imogiri berarti gunung berawan atau tempat bersemayamnya pusaka kerajaan.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang