PENDIDIKAN semestinya menjadi jalan terang menuju peradaban yang lebih adil dan beradab. Namun, di negeri ini, pendidikan masih berkutat dalam bayang-bayang ketimpangan dan keusangan sistemik.
Ketika dunia melesat dengan inovasi dan digitalisasi, kita masih berkutat pada masalah dasar: rendahnya literasi, lemahnya numerasi.
OECD merilis laporan PISA 2022. Indonesia mencatatkan hal yang membingungkan—peringkat naik, tetapi skor turun.
Literasi membaca: 359 poin. Matematika: 366. Sains: 383. Semua jauh di bawah rerata negara OECD. Ini bukan pencapaian, tapi cermin buram kualitas pendidikan yang stagnan.
Sebagian pihak tergesa merayakan kenaikan peringkat. Padahal kenyataannya, kita naik bukan karena berlari lebih cepat, melainkan karena yang lain melambat.
Seperti siswa yang naik peringkat hanya karena teman sekelasnya lebih buruk, bukan karena dirinya menjadi lebih baik.
Baca juga: Mencopot Wakil Presiden Gibran Rakabuming: Antara Mandat Rakyat vs Konsensus Elite
Rata-rata lama sekolah nasional masih 9,22 tahun. Itu berarti mayoritas warga Indonesia berhenti pada jenjang SMP.
Di Jakarta, anak-anak bicara tentang coding dan kecerdasan buatan. Di Papua Pegunungan, anak-anak masih menunggu guru yang tak datang, menempuh belasan kilometer hanya untuk duduk di ruang kelas berdinding kayu lapuk.
Kesenjangan ini bukan sekadar geografis. Ia adalah potret ketidakadilan struktural yang belum ditangani serius.
Di negeri ini, kode pos sering kali lebih menentukan masa depan anak-anak daripada kecerdasan dan kerja keras mereka.
Saat sebagian sekolah mendapat kucuran dana untuk renovasi ruang komputer, sebagian lainnya belum memiliki papan tulis layak. Ketika satu anak belajar di ruang berpendingin udara, anak lain belajar sambil menahan lapar dan mendengar suara genteng bocor.
Anggaran pendidikan 2025 menyentuh angka lebih dari Rp 660 triliun—20 persen dari APBN seperti mandat konstitusi. Namun, pertanyaan paling mendasar tetap menggema: mengapa dengan dana sebesar itu, mutu pendidikan kita belum juga membaik?
Sebagian besar dana tersedot untuk belanja pegawai, tunjangan struktural, dan urusan birokratis. Sekolah negeri unggulan di kota besar bisa membeli perangkat pintar, sementara sekolah pelosok masih menambal atap bocor dan membayar guru honorer dengan gaji tak layak.
Pendidikan adalah investasi jangka panjang, bukan proyek jangka pendek yang bisa dipamerkan dalam laporan tahunan.
Jika uang hanya digelontorkan tanpa arah, maka triliunan rupiah itu hanya menumpuk dalam tumpukan administrasi—bukan dalam pembentukan karakter dan kecerdasan anak bangsa.