JAKARTA, KOMPAS.com — Produser sekaligus sutradara, Lola Amaria, tidak menyangka film dokumenter garapannya, Eksil, membuka mata banyak anak muda terhadap bagian penting sejarah Indonesia yang selama ini luput dari bangku sekolah.
Cerita tentang para eksil politik pasca-1965 yang diasingkan dan diputus dari Tanah Air selama puluhan tahun, ternyata tidak pernah hadir di bangku sekolah.
“Banyak anak-anak muda yang datang nonton (film Eksil), mereka bilang, ‘Saya enggak pernah dapat (informasi ini) di sekolah,’” ujar Lola saat berbincang dengan Kompas.com usai pemutaran film Eksil di Plaza Senayan, Jakarta, Jumat (2/5/2025).
Kalimat itu, bagi Lola, lebih dari sekadar komentar penonton. Itu adalah cermin dari sistem pendidikan sejarah yang menyisakan ruang kosong besar.
Baca juga: Penayangan Film EKSIL Mendapat Sambutan Hangat di Sydney Australia
Ia menilai narasi dalam Eksil, yang bersumber dari para pelaku sejarah secara langsung, sangat penting diketahui publik.
“Itu artinya, informasi fakta ini penting sekali bagi masyarakat Indonesia mengetahui sejarah negeri. Selama ini, mereka (generasi muda) tidak diajarkan atau mungkin sengaja ditutupi satu generasi supaya tidak mengetahuinya,” kata Lola.
Menurutnya, pelajaran sejarah di sekolah selama Orde Baru lebih banyak menyuarakan narasi resmi pemerintah, terutama soal peristiwa 1965. Lola sendiri tumbuh besar di masa itu dan merasakan langsung bagaimana pelajaran sejarah disampaikan secara satu arah.
Baca juga: Lola Amaria Kumpulkan Rp 41 Juta dari Nobar Eksil untuk Palestina
“Waktu saya tumbuh kembang di era Orde Baru itu kan selalu dijejali atau di-brainwash film propaganda Orde Baru. Kami dipaksa untuk yakin bahwa itu benar,” kenangnya, merujuk pada film wajib Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI.
Kini, setelah dewasa dan berkarya di bidang film, Lola merasa perlu memberikan alternatif bagi publik.
Kini, lewat Eksil, Lola berupaya menawarkan perspektif lain. Film ini, menurutnya, bukan untuk meluruskan sejarah, melainkan untuk memberikan ruang bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan.
“Pada dasarnya penonton mau (percaya dan) pilih yang mana, terserah. Yang penting ada pilihan atau opsi. Ada film yang menurut versi pemerintah dan film ini versi berdasarkan saksi-saksi hidup,” ujarnya.
Baca juga: Cerita Korban Eksil 1965, Dimaki Tante Gerwani oleh Tetangga di Jerman gara-gara Beda Pendapat
Dalam proses produksinya, Lola menyambangi langsung para eksil yang kini tinggal di Eropa. Beberapa narasumber bahkan meninggal dunia tak lama setelah wawancara dilakukan.
“Apa yang tersaji dalam film ini bukan kata orang ketiga, bukan katanya-katanya, tapi dia langsung yang mengatakan (sebagai pelaku sejarah),” tegas Lola.
Tak hanya narasi yang kuat, Eksil juga dikembangkan dengan riset visual mendalam.
Baca juga: Nonton Film Eksil, Mahfud Ingatkan Tragedi Kemanusiaan 65 Tak Boleh Terulang
Ketika narasumber menyebut istilah seperti “perestroika” atau tokoh, seperti Aidit, Gus Dur, atau Yusril, Lola merasa perlu menyertakan potongan dokumenter lain agar penonton mendapatkan konteks yang utuh.