KOMPAS.com – Di tengah laju pesatnya perkembangan teknologi, dunia kerja kini menghadapi tantangan besar. Pilihan manusia kini adalah beradaptasi atau tertinggal. Kecerdasan buatan (AI) bukan lagi sekadar tren, melainkan kebutuhan nyata yang mendorong efisiensi, inovasi, dan daya saing.
Namun, banyak orang, organisasi, atau perusahaan yang masih bingung harus mulai dari mana. Kurangnya pemahaman, keterampilan teknis, dan akses ke pelatihan yang relevan menjadi penghambat utama dalam menguasai AI secara efektif.
Selain itu, muncul pula kekhawatiran tentang bagaimana AI akan memengaruhi masa depan pekerjaan. Apakah AI akan menggantikan peran manusia? Atau justru menjadi alat yang memperkuat kinerja dan memperluas kapasitas?
Baca juga: Universitas Pertamina Buka Beasiswa 2025, Kuliah Gratis sampai Lulus
Rektor Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Andrey Andoko memaparkan bahwa perubahan dalam rutinitas manusia karena adanya AI, sedikit banyak sudah terjadi, bahkan dalam hal sederhana seperti mencari informasi.
“Dulu kita pakai Google untuk mencari jawaban, sekarang orang lebih banyak bertanya langsung ke ChatGPT. Kalau pakai Google, kita disuguhi banyak pilihan dan harus memilah sendiri. Tapi dengan AI, seperti ChatGPT, jawabannya langsung disajikan,” ujarnya saat acara peluncuran AI Training Centre DQ Lab di Jakarta, Kamis (05/06/25).
Menurut Andrey, paradigma ini mencerminkan pergeseran mendasar, yaitu dari searching menjadi asking. Artinya, pengguna tidak lagi mencari-cari jawaban sendiri lewat Google misalnya, tetapi menyerahkan pencarian informasi tersebut kepada AI.
Baca juga: Kebijakan Trump Picu Gangguan Mental dan Beri Tekanan bagi Mahasiswa Asing di Harvard
Sebagai rektor institusi pendidikan tinggi, Andrey menyadari bahwa AI akan mengubah banyak hal. Karena itu, UMN sendiri sudah mulai mengintegrasikan AI dalam proses pembelajaran di semua program studi.
“Kalau dunia kerja sudah banyak menggunakan AI, lulusan UMN tentu harus siap juga. Kami tidak ingin mahasiswa kami ketinggalan. Karena itu, semua mahasiswa harus bisa AI. Di semua program studi, di berbagai macam proses belajar sudah menggunakan AI. ” tegasnya.
Andrey juga menekankan bahwa AI tidak akan menggantikan manusia, tetapi hanya akan menggantikan mereka yang tidak mampu menggunakan AI.
“Kalau banyak orang sebelumnya khawatir bahwa AI akan menggantikan orang, tapi makin kesini makin diakui bahwa orang tidak akan tergantikan oleh AI. Kecuali, ada kecualinya ya, yang tidak tergantikan oleh AI itu adalah yang bisa pakai AI,” katanya.
Baca juga: Perkuat Pendidikan AI dan STEM, Riady Foundation Salurkan Rp 500 Miliar ke Sekolah Indonesia
Hasil riset McKinsey menunjukkan bahwa perusahaan yang mengadopsi AI membutuhkan lebih banyak data scientist dalam tahun-tahun mendatang, seiring dengan pergeseran keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
Hasil riset menunjukkan bahwa meski AI sering kali dipersepsikan sebagai ancaman bagi tenaga kerja manusia, justru sebaliknya, banyak perusahaan kini merekrut lebih banyak karyawan baru, terutama dengan keahlian yang relevan dengan teknologi tersebut.
AI memang telah menggantikan sejumlah pekerjaan, tetapi di sisi lain, menciptakan peluang baru, terutama di bidang yang membutuhkan penguasaan teknologi lanjutan.
Contohnya, data scientist kini semakin dibutuhkan karena volume data yang harus dianalisis terus meningkat.
Selain itu, posisi di bidang sales & marketing, pengembangan perangkat lunak, operasional layanan, serta customer support juga mengalami lonjakan permintaan akibat penggunaan AI yang semakin masif.