TRANSFORMASI digital dalam pendidikan seringkali dipahami sebatas penggantian media. Buku diganti tablet, papan tulis diganti layar interaktif, dan ruang kelas digeser ke platform daring.
Namun, di balik teknologi yang semakin canggih itu, satu pertanyaan mendasar kerap luput dari perhatian tentang apakah Indonesia sedang mencetak manusia yang hanya melek alat, atau membentuk generasi yang mampu menciptakan alat dan memaknai kemanusiaannya di tengah algoritma?
Jawaban dari pertanyaan tersebut membawa semua pada satu titik krusial bahwa pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) tidak lagi cukup diajarkan sebagai kumpulan kompetensi teknis.
STEM di era transformasi digital harus bergerak lebih jauh, yakni menjadi kerangka kerja pemikiran, kerangka etis, bahkan kerangka hidup.
Ini bukan sekadar pembelajaran sains dan teknologi, melainkan pendidikan yang membentuk logika, empati, dan kemampuan berpikir lintas disiplin secara simultan dalam realitas yang serba terkoneksi.
Baca juga: Pendidikan Holistik Redea Institute Lahirkan Lulusan Adaptif dan Berdaya Saing Global
Realitas baru ini bukan fiksi. Laporan World Economic Forum (2023) menunjukkan bahwa 65 persen anak-anak yang saat ini duduk di bangku sekolah dasar akan bekerja dalam jenis pekerjaan yang belum pernah ada sebelumnya.
Kesenjangan antara keterampilan yang diajarkan di sekolah dan keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja nyata akan semakin lebar jika pendekatan pendidikan di negeri ini masih berpijak pada paradigma abad ke-20.
Mengajarkan coding tanpa mengajarkan berpikir sistemik adalah separuh jalan yang membingungkan.
Demikian pula, mengajarkan matematika tanpa mengaitkannya dengan konteks sosial dan lingkungan hanya akan mencetak operator yang tidak tahu apa yang sedang mereka operasikan.
STEM bukan hanya seperangkat mata pelajaran, melainkan lensa untuk memahami dunia. Transformasi digital sejatinya menuntut STEM sebagai budaya berpikir bukan sekadar sebagai kurikulum.
Dengan lensa ini, bangsa ini tidak lagi berbicara tentang “memasukkan teknologi ke dalam ruang kelas,” tapi tentang bagaimana mendesain ulang seluruh cara berpikir, mengajar, dan belajar agar sejalan dengan logika zaman yang telah berubah.
Sayangnya, sebagian besar kebijakan pendidikan digital masih berorientasi pada penyediaan perangkat keras, bukan pada transfigurasi intelektual.
Tablet dibagikan ke sekolah-sekolah, tapi tidak mengubah pendekatan pedagogi yang usang. Banyak sekolah mempersiapkan anak-anak dengan perangkat modern, namun sayangnya masih saja mengevaluasi mereka dengan sistem penilaian yang stagnan dan tidak reflektif.
Padahal, transformasi digital dalam pendidikan bukan tentang menjadi “se-modern mungkin,” melainkan menjadi “se-relevan mungkin.”
Relevansi inilah yang ditawarkan oleh STEM sebagai pendekatan. STEM menantang asumsi tradisional tentang pemisahan ilmu.
Baca juga: Mengurai Akar Krisis Literasi dari Sekolah Menengah