BEBERAPA waktu lalu, temuan lapangan dari Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) di Buleleng, Bali, menyentak banyak pihak.
Dalam survei yang dilakukan Undiksha, ditemukan sebanyak 433 siswa tingkat SMP ternyata belum bisa membaca dengan lancar. Sebagian bahkan belum mengenali huruf.
Temuan ini tentu mengejutkan, bukan karena datang dari wilayah terpencil, tetapi karena terjadi di jenjang pendidikan menengah pertama, setelah siswa menempuh enam tahun pendidikan dasar.
Temuan ini bukan hanya soal statistik, tetapi tentang masa depan anak-anak Indonesia yang tertinggal diam-diam di tengah gegap gempita reformasi pendidikan.
Dalam survei tersebut, 43,1 persen siswa berada pada level dasar, belum hafal huruf dan masih terbata-bata saat mengeja.
Sebanyak 36,5 persen berada pada level menengah, dan 20,4 persen pada level lanjutan, namun tetap memiliki pemahaman bacaan yang lemah.
Baca juga: Inflasi Nilai dan Tantangan Integritas Pendidikan Indonesia
Angka-angka ini bukan hanya mencerminkan kondisi di Buleleng, tetapi bisa menjadi potret dari gejala yang lebih luas di berbagai wilayah Indonesia.
Ketika anak-anak SMP masih berjuang mengenal huruf, maka yang terganggu bukan hanya proses belajar, melainkan juga kepercayaan diri, interaksi sosial, dan mobilitas mereka di masa depan.
Undiksha tidak tinggal diam. Sebanyak 76 dosen dan 375 mahasiswa dikerahkan untuk melakukan pendampingan intensif kepada para siswa dengan metode fonik, kartu kata, membaca nyaring, hingga pendekatan diskusi makna.
Pendampingan dilakukan selama tiga hingga empat jam per hari, menyesuaikan dengan level kemampuan tiap siswa.
Ini bukan program instan, melainkan bentuk keterlibatan akademisi dalam menjawab persoalan mendasar secara nyata dan manusiawi.
Hasil awal menunjukkan banyak siswa mengalami kemajuan, meski tentu masih perlu asesmen lanjutan.
Pertanyaannya kemudian, mengapa masalah ini bisa luput dari perhatian sistem? Apa yang membuat siswa bisa lulus SD dan naik kelas di SMP meskipun belum bisa membaca dengan baik?
Pertanyaan ini membawa semua pihak pada refleksi yang lebih dalam tentang bagaimana literasi dipahami, dinilai, dan didampingi dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Selama beberapa tahun terakhir, Indonesia telah melakukan reformasi besar-besaran dalam pendidikan mencakup kurikulum, penilaian berbasis kompetensi, evaluasi pelaksanaan ujian nasional, dan penguatan pembelajaran berbasis proyek.
Baca juga: Urgensi Mencetak Generasi STEMfluencer
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya