Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nita Priyanti
Anggota ECED Council, Sekjen Ikatan Doktor PAUD Indonesia, dan Dekan Pascasarjana Universitas Panca

Anggota ECED Council & Sekjen Ikatan Doktor PAUD Indonesia

Memaknai Kemerdekaan dari Perspektif Pendidikan Anak Usia Dini

Kompas.com - 18/08/2025, 07:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETIAP 17 Agustus, kita memperingati Kemerdekaan Republik Indonesia dengan gegap gempita.

Namun, di balik semarak upacara dan parade, kita jarang bertanya: apakah makna kemerdekaan sungguh hadir dalam kehidupan anak-anak Indonesia terutama mereka yang berada di usia paling dini?

Kemerdekaan bukan hanya soal terbebas dari penjajahan fisik, tetapi juga pembebasan dari ketertinggalan, kebodohan, dan ketidakadilan struktural.

Jika definisi itu kita pegang, maka Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) semestinya menjadi garda terdepan dalam mengisi dan menjadi fondasi strategi bangsa yang telah merdeka untuk menjadi bangsa maju dengan SDM yang mumpuni di bidangnya.

Perubahan besar terjadi pada tahun ini, perencanaan pembangunan nasional yang tertuang dalam RPJMN 2025-2029 menyatakan wajib belajar 13 tahun, melalui enam tahun di SD, tiga tahun di SMP, dan tiga tahun di SMA, dan satu tahun pra-SD, merupakan satu bentuk keberpihakan pada PAUD yang perlu kita apresiasi.

Baca juga: Sekolah Alternatif Anak Tanpa Negara di Teluk Layang

Namun, kita juga perlu waspada bahwa kebijakan ini berpotensi multitafsir. Pertama, dimaknai bahwa kita hanya perlu fokus pada usia 5-6 tahun sehingga akan dimungkinkan meninggalkan usia yang lebih muda (0-5 tahun).

Kedua, dapat dimaknai secara positif bahwa wajib belajar 13 tahun adalah kebijakan yang dapat memastikan akses terhadap PAUD untuk semua anak usia dini di Indonesia.

PAUD adalah intervensi strategis untuk memutus mata rantai kemiskinan antargenerasi. Anak-anak dari keluarga miskin yang mendapat layanan PAUD berkualitas memiliki peluang lebih besar untuk sukses di pendidikan formal. Ini akan memperkuat mobilitas sosial dan menjadi fondasi keadilan dalam jangka panjang.

Usia 0-6 tahun merupakan periode krusial dalam perkembangan manusia. Pada fase ini, otak anak berkembang pesat, membentuk fondasi awal bagi kemampuan belajar, berpikir, berinteraksi, dan mengelola emosi.

Para ahli sering menyebut tahap ini sebagai The Golden Age, yakni masa dengan potensi perkembangan yang sangat tinggi jika diberi stimulasi yang tepat.

Meskipun perkembangan tetap berlanjut di tahap usia berikutnya, peluang untuk membangun dasar-dasar penting bagi keberhasilan jangka panjang paling efektif terjadi pada periode ini.

Kebijakan wajib belajar 13 tahun cukup menjanjikan jika dimaknai secara positif. Namun, jika mengacu pada fakta di lapangan agaknya masih jauh dari harapan.

Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (2024) menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD hanya sekitar 36,03 persen anak usia dini yang mengakses layanan PAUD yang memenuhi standar mutu.

Mayoritas satuan PAUD dikelola masyarakat secara swadaya dengan dukungan minimal dari negara. Banyak guru PAUD belum tersertifikasi atau tidak mendapatkan pelatihan berbasis pedagogi anak usia dini.

Lebih ironis lagi masih banyak lembaga PAUD yang menerapkan capaian akademis terlalu dini. Anak-anak ditargetkan sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung, bahkan sebelum mereka cukup usia untuk memahami konsep-konsep dasarnya.

Bimbel/bimba (bimbingan belajar) untuk anak usia dini makin menjamur, daripada layanan PAUD. Bermain, yang seharusnya menjadi metode utama pembelajaran anak usia dini, justru dianggap sebagai kegiatan selingan atau pengisi waktu.

Baca juga: Pembelajaran Berbasis Bermain dalam Pendidikan Usia Dini

Padahal, bermain adalah cara utama anak belajar tentang dunia. Melalui bermain, anak belajar menyelesaikan masalah, bekerja sama, dan mengekspresikan perasaan.

Jika dipandu dengan pendekatan pembelajaran mendalam yang berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan, bermain akan menjadi landasan kuat bagi perkembangan nalar, empati, dan kreativitas anak sejak dini.

Saat tekanan akademik hadir terlalu awal, kita bukan hanya mengingkari prinsip-prinsip perkembangan anak, tetapi juga merampas masa kecil mereka yang seharusnya penuh eksplorasi dan kebebasan untuk bermain dan belajar dalam satu waktu.

Pendidikan seharusnya menjadi alat untuk membebaskan, bukan mengekang. Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, menegaskan bahwa pendidikan bertujuan menuntun kodrat anak agar tumbuh dan berkembang secara lahir dan batin.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau