Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aris Heru Utomo
Dosen

Dosen Hubungan International Universitas Dr. Moestopo (Beragama) Jakarta

Mengembalikan Pelajaran Menulis: Antara Menulis Indah dan Berpikir Merdeka

Kompas.com - 24/10/2025, 06:49 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

Presiden Prabowo Ingin Pelajaran Menulis Diadakan Lagi di Sekolah, Apa Alasannya?,” begitu judul berita di kompas.com Selasa 21 Oktober 2025, menyusul pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang disampaikan melalui kanal YouTube Sekretariat Presiden pada hari dan tanggal yang sama.

Kompas kemudian memberitakan alasan Presiden Prabowo menyoroti kebiasaan siswa yang menulis dengan huruf kecil-kecil hingga berpotensi merusak mata. Presiden pun menyarankan agar pelajaran menulis kembali dimasukkan ke dalam kurikulum agar anak-anak terbiasa menulis dengan baik dan jelas.

Sayangnya, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai pelajaran menulis ini, selain terkait penulisan huruf yang terlalu kecil dan berpotensi merusak mata siswa. Penulis sebenarnya berharap ada arahan lebih lanjut dari Presiden mengenai pelajaran menulis yang bukan sekadar ukuran tetapi pelajaran menulis yang berorientasi pada peningkatan kemampuan literasi, pengembangan gagasan, serta pembentukan daya pikir kritis dan kreatif siswa.

Hal ini perlu dikemukakan karena menulis itu bukan hanya tentang bentuk huruf yang indah atau ukuran tulisan yang terbaca. Sejatinya, menulis sangat erat kaitannya dengan keterampilan berpikir. Proses menulis melibatkan kemampuan mengorganisasi ide, menalar hubungan sebab-akibat, memilih kata yang tepat, serta menata argumen secara logis dan komunikatif.

Dalam arti ini, pelajaran menulis tidak sekadar mengajarkan siswa menyalin atau menulis rapi, melainkan melatih mereka berpikir sistematis, reflektif, dan kritis. Selain itu, menanamkan kebiasaan sabar, disiplin, tekun dan teliti. Memperhatikan hal tersebut di atas, maka tampak bahwa menulis adalah keterampilan lunak (soft skill) yang memiliki dampak keras (hard impact).

Baca juga: Gen Z Kehilangan Keterampilan yang Kita Miliki Selama 5.500 Tahun: Menulis Tangan

Banyak bangsa besar maju karena generasinya mampu menulis dan mengekspresikan gagasan dengan tajam. Dari tulisan-tulisan lahir ide-ide perubahan sosial, karya sastra yang menginspirasi, hingga dokumen kebijakan yang mempengaruhi sejarah. Indonesia sendiri memiliki tradisi literasi yang kuat. Dari Kartini yang menulis surat-suratnya kepada Abendanon, hingga Bung Karno yang menulis “Indonesia Menggugat”, dan Chairil Anwar yang melahirkan semangat revolusi lewat sajak-sajaknya.

Semua menunjukkan bahwa menulis adalah alat perjuangan, alat berpikir, dan alat membangun kesadaran. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, tampak bahwa sekadar bisa menulis indah bukan berarti melek literasi. Seperti dicatat UNESCO, tingkat literasi dasar di Indonesia sesungguhnya sudah tergolong tinggi, dimana sekitar 96 persen penduduk berusia di atas 15 tahun sudah bisa membaca dan menulis (UNESCO Institute for Statistics, 2020).

Namun, angka tinggi itu belum tentu berarti kemampuan literasinya benar-benar kuat. UNESCO memandang bahwa berdasarkan penelitian, literasi fungsional, yakni kemampuan memahami isi bacaan, menalar informasi, dan menulis gagasan sendiri, masih menjadi tantangan besar. Para siswa memang bisa membaca, tetapi belum tentu memahami. Siswa juga bisa menulis, tetapi belum tentu mampu menyusun argumen atau mengungkapkan ide dengan runtut.

Baca juga: Studi: Menulis dengan Tangan Lebih Bermanfaat untuk Belajar

Oleh karena itu, upaya meningkatkan kualitas literasi melalui pelajaran menulis yang tidak sekadar mengajarkan cara membentuk huruf, menjadi hal yang penting untuk melatih anak-anak menyusun ide dan mengekspresikan pikiran secara sistematis.

Upaya meningkatkan kualitas literasi ini tentu tidak bisa hanya dibebankan pada sekolah, tetapi memerlukan dukungan ekosistem yang lebih luas. Keluarga, masyarakat, dan pemerintah pusat dan daerah harus turut menciptakan lingkungan yang kondusif bagi budaya membaca dan menulis.

Perpustakaan sekolah dan ruang publik perlu dihidupkan kembali sebagai tempat anak berinteraksi dengan buku dan gagasan, sementara guru perlu diberi pelatihan menulis kreatif agar bisa menularkan semangat literasi kepada murid. Dengan cara itu, pelajaran menulis tidak lagi sekadar menjadi latihan tangan di atas kertas, melainkan menjadi jembatan menuju kemandirian berpikir dan kematangan nalar anak bangsa.

Baca juga: Kenapa Menulis dengan Tangan Membantu Kita Mengingat Sesuatu?

Dalam kaitan ini, sudah saatnya dilakukan perubahan yang mendasar dalam pemberian pelajaran menulis di sekolah. Hal ini mengingat bahwa lebih dari satu dekade terakhir, arah pendidikan nasional cenderung menekankan pada penguasaan sains, numerasi, dan teknologi digital.

Kurikulum Merdeka sekalipun, lebih banyak menyoroti project-based learning berbasis data dan teknologi. Padahal, kemampuan menulis, sebagai bagian dari literasi bahasa, adalah jantung dari seluruh proses belajar. Sains tanpa kemampuan menulis berarti kehilangan daya untuk menjelaskan penemuan. Teknologi tanpa kemampuan menulis berarti kehilangan kemampuan untuk berkomunikasi dan berkolaborasi.

Di sinilah urgensi pelajaran menulis menjadi jelas yaitu bukan sekadar untuk melatih tangan dan mata, tetapi untuk membentuk pikiran dan karakter. Kita membutuhkan generasi muda yang tidak hanya bisa membuat konten menarik, tetapi juga mampu menulis argumentasi yang bernas. Kita memerlukan siswa yang bisa menulis laporan penelitian dengan sistematis, membuat esai reflektif yang jujur, atau menulis surat yang menggugah.

Di tengah banjir informasi dan disinformasi, kemampuan menulis kritis bahkan menjadi bentuk pertahanan intelektual bangsa. Oleh karena itu, ketika Presiden Prabowo berbicara tentang pentingnya pelajaran menulis, semestinya dilanjutkan bukan hanya sebagai seruan agar anak menulis huruf besar dan jelas, tetapi juga ajakan untuk menghidupkan kembali budaya berpikir melalui tulisan. Karena bangsa yang berhenti menulis, pada dasarnya adalah bangsa yang berhenti berpikir.

Baca juga: Kisah Soekarno dan Hatta yang Gandrung Menulis

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau