DI BALIK gemerlap papan nama “universitas unggul” dan jargon internasionalisasi, banyak perguruan tinggi swasta (PTS) di Indonesia menyimpan kisah getir: gaji dosen rendah, pembayaran tidak menentu, dan hak-hak ketenagakerjaan yang diabaikan.
Suara lirih dari ruang dosen kini menggema lewat gerakan Solidaritas Pekerja Kampus (SPK) sebagai bentuk perlawanan moral terhadap maladministrasi yang semakin sistemik di tubuh pendidikan tinggi swasta.
Menurut data terbaru Kemendikbudristek (Kemdikti Saintek, 2024), terdapat 3.364 perguruan tinggi swasta di Indonesia yang menampung lebih dari 65 persen mahasiswa nasional.
Dari total sekitar 354.000 dosen aktif, lebih dari 58 persen bekerja di lingkungan kampus swasta.
Namun, laporan Ditjen Diktisaintek menunjukkan bahwa sebagian besar dosen PTS bekerja dengan gaji rata-rata hanya Rp 1 juta hingga Rp 2 juta per bulan. Bahkan, ada yang tanpa jaminan sosial ketenagakerjaan dan kesehatan yang memadai.
Padahal, beban kerja mereka sama dengan dosen di perguruan tinggi negeri (PTN): mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat.
Baca juga: Kampus Sepi, Dosen Sunyi
Ironisnya, masih banyak kampus swasta yang menunda pembayaran honor hingga berbulan-bulan, bahkan ada yang membayar berdasarkan jumlah mahasiswa yang hadir di kelas.
Ada juga pihak kampus yang menunda bayar gaji sesuai dengan SK sebagai dosen tetap dengan alasan belum ada kepastian dari yayasan, alias lempar tanggung jawab. Sang dosen akhirnya menerima gaji yang sama dengan status kontrak.
Dalam laporan survei Solidaritas Pekerja Kampus (SPK) tahun 2024, sekitar 72 persen dosen swasta mengaku tidak menerima gaji tetap setiap bulan. Sebagian kampus hanya membayar berdasarkan jumlah SKS atau jam tatap muka.
Kondisi ini menandakan adanya krisis struktural dalam tata kelola keuangan pendidikan tinggi swasta di Indonesia.
Masalah gaji dosen bukan hanya perkara ekonomi, tetapi juga cerminan dari maladministrasi dan lemahnya akuntabilitas kampus. Banyak yayasan pengelola PTS memperlakukan dosen layaknya tenaga lepas, bukan pendidik profesional.
Keterlambatan pembayaran, pemotongan tanpa penjelasan, hingga tidak transparannya laporan keuangan menjadi praktik yang kerap terjadi.
Secara hukum, praktik tersebut dapat dikategorikan sebagai maladministrasi berdasarkan Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
Maladministrasi meliputi penundaan berlarut, penyalahgunaan wewenang, atau pengabaian kewajiban hukum oleh penyelenggara layanan publik.
Perguruan tinggi swasta, meski berstatus yayasan, tetap tunduk pada prinsip akuntabilitas publik karena mengelola dana mahasiswa dan menjalankan fungsi pendidikan nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.