Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
RILIS BIZ

Belajar Filsafat Hidup dan Kearifan Lokal lewat Petilasan Sri Aji Jayabaya di Kediri

Kompas.com - 27/10/2025, 20:32 WIB
Yakob Arfin Tyas Sasongko,
Sri Noviyanti

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Di tengah maraknya destinasi wisata modern, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, punya satu tempat yang berbeda. Bukan sekadar indah untuk dikunjungi, tapi juga penuh makna sejarah dan nilai hidup yang bisa direnungkan.

Destinasi wisata tersebut adalah Petilasan Sri Aji Jayabaya. Situs ini menjadi jejak dari seorang raja legendaris yang dikenal bijak dan visioner lewat karya ramalannya, Jangka Jayabaya.

Nama Sri Aji Jayabaya begitu melekat dalam sejarah Kerajaan Kediri yang pernah mencapai masa keemasan pada 1135–1157 M.

Sosoknya tak hanya dikenang sebagai pemimpin yang membawa kemakmuran, tapi juga sebagai pemikir yang meninggalkan pesan moral tentang kehidupan.

Salah satu ramalannya yang paling terkenal berbunyi, “Akan datang masa kacau di mana yang benar kalah oleh yang licik, rakyat kecil menderita, sementara penguasa hidup berlebihan.”

Baca juga: Lhokseumawe Punya Situs Wisata Sejarah Goa Jepang, Sayang Terbengkalai

Bagi banyak masyarakat Jawa, pesan itu terasa seperti cermin zaman. Dari masa penjajahan hingga era modern sekarang, ramalan itu masih dianggap relevan dan menjadi pengingat agar manusia tidak lupa pada nurani dan keadilan.

Lantas, mengapa Petilasan Sri Aji Jayabaya bisa jadi destinasi penting untuk edukasi dan sejarah? Ini alasannya.

1. Mengenal konsep moksa, filsafat hidup Jawa kuno

Konon, Sri Aji Jayabaya mencapai moksa, yaitu keadaan kesempurnaan spiritual ketika jiwa meninggalkan raga tanpa kematian jasmani. Tempat yang dipercaya menjadi lokasi moksa itu berada di Desa Menang, Kecamatan Pagu, dan kini dikenal sebagai Petilasan Jayabaya.

Di dalam kompleks petilasan, ada tiga situs utama, yaitu Loka Mahkota (tempat meninggalkan mahkota), Loka Busana (melepas pakaian kerajaan), dan Loka Moksa.

Masing-masing punya makna filosofis yang dalam yakni bagaimana manusia pada akhirnya harus melepaskan segala keduniawian untuk mencapai kesucian.

Baca juga: Revitalisasi Gua Jepang Majalengka, Dari Bungker Perang Jadi Wisata Sejarah

2. Sendang Tirto Kamandanu, simbol kehidupan

Salah satu titik yang paling sering didatangi di petilasan ini adalah Sendang Tirto Kamandanu. Kolam alami ini diyakini memiliki energi penyucian, dengan aliran air yang melewati tiga tingkatan, yaitu sumber, penampungan, dan kolam pemandian.

Masyarakat sekitar memaknai tiga tingkatan itu sebagai simbol kesucian, keseimbangan, dan kemakmuran.

“Kalau cuci muka di sumur itu bisa bikin bersih aura dan awet muda,” tutur Mbah Sempu (77), juru kunci yang sudah puluhan tahun menjaga tempat ini.

Menurutnya, air dari sendang ini bukan sekadar sumber kehidupan, tapi juga lambang keseimbangan antara alam, manusia, dan Sang Pencipta.

Gerbang utama menuju Petilasan Sri Aji Jayabaya yang dikelilingi pepohonan rindang. Area ini menjadi destinasi edukasi sejarah dan spiritual yang banyak dikunjungi masyarakat dari berbagai daerah.Dok. Istimewa Gerbang utama menuju Petilasan Sri Aji Jayabaya yang dikelilingi pepohonan rindang. Area ini menjadi destinasi edukasi sejarah dan spiritual yang banyak dikunjungi masyarakat dari berbagai daerah.

3. Ruang edukasi spiritualitas dan toleransi

Hal menarik lain dari Petilasan Jayabaya adalah suasananya yang sangat terbuka. Setiap hari, orang datang dari berbagai latar belakang agama dan kepercayaan. Ada yang berdoa, bermeditasi, atau sekadar mencari ketenangan.

Baca juga: Wisata Sejarah ke Monumen Pancasila Sakti, Ini Lokasi, Jam Buka, dan Harga Tiketnya!

Halaman Berikutnya
Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau