Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Suryadi R
Peneliti

Penulis Buku Pengetahuan Sebagai Strategi dan Peneliti di Parametric Development Center

Politik Bahasa yang Melupakan Rumah

Kompas.com - 28/10/2025, 13:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Editor Wisnubrata

RENCANA pemerintah memasukkan Bahasa Portugis ke dalam Kurikulum Merdeka 2025 bertepatan dengan peringatan Bulan Bahasa tahun ini. Di tengah semangat globalisasi itu, laporan UNESCO Atlas of the World’s Languages in Danger (2023) justru menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah bahasa terancam punah terbanyak di dunia; lebih dari 150 bahasa berada dalam kategori severely endangered dan critically endangered.

Data Badan Bahasa (2024) menegaskan hal serupa, lebih dari 600 bahasa daerah kini terancam, dan 11 di antaranya telah benar-benar punah. Kita sedang sibuk menambah kosakata dunia, sementara kehilangan kata untuk menyebut rumah sendiri.

Kedua fakta ini muncul bersamaan dengan fenomena lain, yakni ledakan penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam pendidikan dan komunikasi yang didominasi oleh bahasa global seperti Inggris, Mandarin, dan Korea.

Bahasa lokal makin kehilangan ruang di sekolah, media, bahkan algoritma. Mesin pencari tidak lagi mengenali bahasa ibu kita, dan jika itu dibiarkan, masa depan digital Indonesia akan menjadi masa depan tanpa suara lokal.

Di Maluku, bahasa Kayeli, Hukumina, dan Luhu telah senyap; di Nusa Tenggara, Tambora lenyap bersama letusan gunungnya; di Papua, Mawes, Bonerif, dan Saponi hanya tersisa dalam catatan akademik. Begitu pula Moksela dan Palumata di gugusan timur Nusantara, yang hilang bersama penutur terakhirnya.

Ironinya, ketika mesin belajar mengenali aksen Inggris dengan sempurna, anak-anak di negeri ini justru tidak lagi mengenali bunyi bahasa leluhurnya sendiri. Kebijakan pengajaran bahasa asing, termasuk Portugis, tentu beralasan secara geopolitik.

Namun penambahan bahasa asing tanpa arah politik bahasa nasional yang jelas menunjukkan kecenderungan yang keliru bahwa negara lebih cepat memfasilitasi diplomasi global daripada melindungi bahasa ibu yang lahir dari tanah sendiri. Kita giat membangun jembatan ke dunia, tapi lupa memperkuat pondasi rumah kebudayaan kita sendiri.

Baca juga: Bahasa Portugis di Bulan Bahasa, di Tengah Sumpah Pemuda

Bahasa yang Hilang, Pengetahuan yang Lenyap

Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi penanda cara berpikir dan sistem pengetahuan lokal. Hilangnya satu bahasa berarti hilangnya satu dunia pengetahuan. Linguis David Crystal dalam Language Death (2000) menyebut kematian bahasa sebagai hilangnya salah satu bentuk kesadaran manusia tentang dirinya.

Kisah bahasa Cia-Cia di Buton menjadi simbol paradoks itu. Pada 2009, bahasa ini sempat mencuri perhatian dunia karena menggunakan huruf Hangeul dari Korea Selatan. Namun proyek itu meredup, dan kini Cia-Cia nyaris tak terdengar di ruang kelas. Nasib serupa dialami bahasa Kayeli di Pulau Buru dan Tambora di Sumbawa; dua bahasa yang kini hanya hidup di lembar penelitian.

Masalah utama kepunahan bukan sekadar karena globalisasi, melainkan karena absennya politik bahasa nasional yang berpihak. Program Revitalisasi Bahasa Daerah yang diluncurkan Badan Bahasa sejak 2021 memang langkah positif, namun masih menjangkau 59 bahasa dari total lebih dari 700 bahasa daerah. Tanpa keberpihakan kebijakan yang nyata di bidang pendidikan dan media, revitalisasi hanya menjadi seremoni tahunan, bukan gerakan kultural yang hidup.

Baca juga: Bahasa Portugis Pernah Diajarkan di Indonesia

Arah yang Terlalu Global

Kebijakan bahasa kita cenderung lebih berorientasi keluar daripada menengok ke dalam. Pemerintah giat menambah bahasa asing -Mandarin, Jepang, Korea, dan kini Portugis- sementara bahasa daerah terdesak keluar dari ruang sekolah dan media publik. Padahal, hilangnya bahasa bukan sekadar kehilangan kata, melainkan kehilangan cara hidup.

Ketika bahasa Kayeli lenyap, bersama itu hilang pula pengetahuan tradisional masyarakat Buru tentang arah angin dan musim laut. Ketika Tambora punah, lenyap pula cerita rakyat dan kosmologi setempat. Jika bahasa-bahasa itu mati, kita tak hanya kehilangan identitas, tapi juga kehilangan warisan pengetahuan ekologis dan sosial yang tak tergantikan.

Baca juga: 75 Persen Bahasa Daerah di Indonesia Kritis dan Hampir Punah!

Menjaga Suara yang Kian Sunyi

Negara lain telah membuktikan bahwa bahasa bisa dihidupkan kembali bila ada kemauan politik. Di Wales, bahasa Welsh bangkit melalui integrasi pendidikan dan media. Di Selandia Baru, bahasa Maori kembali hidup berkat dukungan komunitas dan kebijakan afirmatif pemerintah. Indonesia seharusnya belajar dari mereka.

Revitalisasi bahasa daerah perlu langkah konkret dan keberpihakan yang jelas. Pemerintah seharusnya menetapkan satu bahasa daerah sebagai muatan lokal wajib di setiap provinsi asalnya, dengan dukungan dana BOS daerah untuk pelatihan guru dan produksi bahan ajar digital.

Di luar sekolah, pemerintah daerah perlu memberi insentif bagi media komunitas dan kreator konten yang menuturkan bahasa ibu di ruang digital. Dengan begitu, bahasa daerah tidak hanya diselamatkan, tetapi diberi ruang hidup yang relevan di masa kini termasuk di dunia digital yang kini dikuasai bahasa asing dan mesin algoritma.

Bulan Bahasa seharusnya tidak berhenti pada lomba dan slogan. Ia seharusnya menjadi momen untuk meninjau ulang politik bahasa nasional sebelum kita kehilangan generasi yang bisa berbicara dalam bahasa ibunya sendiri.

Rencana memasukkan Portugis ke kurikulum 2025 mestinya diimbangi dengan komitmen melindungi bahasa lokal, agar Indonesia tidak menjadi bangsa yang fasih berbicara ke dunia, tetapi gagap berbicara kepada dirinya sendiri.

Baca juga: Wamen Stella Ajak Anak-anak Bercerita dalam Bahasa Daerah, Apa Manfaatnya?

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau