Duterte dituduh melakukan kejahatan kemanusiaan karena membuat kebijakan perang terhadap kejahatan narkoba di negaranya dengan tangan besi dan mengeksekusi ribuan pelaku tanpa proses pengadilan.
Kebijakannya disorot dan dinilai oleh dunia internasional sebagai pembantaian sistematis terhadap rakyatnya sendiri.
Tak hanya Duterte yang berurusan dengan ICC atas kejahatan kemanusiaan. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dinyatakan bertanggung jawab atas serangan brutal terhadap warga sipil di Gaza, Palestina.
Perbedaan antara Duterte dengan Netanyahu tidak hanya mencerminkan dua pemimpin dengan latar belakang berbeda, tetapi juga memperlihatkan ketimpangan nyata dalam sistem keadilan internasional.
Pada saat masih memimpin Filipina, Duterte memiliki hubungan cukup dekat dengan Amerika Serikat. Namun, sayangnya Filipina tidak diperhitungkan sebagai pilar utama kepentingan geopolitik Amerika Serikat.
Begitu Duterte lengser dan pengaruh politiknya melemah, ia tidak punya “bodyguard”.
Adapun Netanyahu, yang berstatus sebagai buronan ICC atas kejahatan perang, tetap bertahan. Israel, sekalipun negara kecil di Timur Tengah, adalah sekutu strategis bagi Amerika Serikat.
Israel selalu mendapat dukungan finansial serta militer dalam jumlah yang tidak pernah didapatkan oleh Filipina, bahkan oleh negara manapun selain Israel.
Walaupun seabrek resolusi PBB mengutuk Netanyahu, tetapi ia tetap kebal, karena ada beking super di belakangnya.
Amerika Serikat bukan sekadar melindungi Netanyahu, tetapi aktif menghambat segala upaya untuk menuntutnya secara hukum.
Ketika ICC mulai menyelidiki Israel atas dugaan kejahatan perang, Gedung Putih mengancam akan menjatuhkan sanksi terhadap hakim dan jaksa yang berani melanjutkan kasus ini.
Adapun Duterte dibiarkan tanpa perlindungan saat ICC menyentuhnya.
Lemah daya tawar
Duterte pernah menjadi sekutu AS, namun juga “bermain mata” dengan Rusia dan China. Selain itu, Duterte bukan sosok yang sangat berpengaruh dan tak tergantikan dalam kepentingan geopolitik.
Sementara Netanyahu adalah tokoh kunci dalam politik Timur Tengah, yang “dimitoskan” tak tergantikan oleh sosok lain. Dia telah mengakar puluhan tahun dalam percaturan politik Israel.
Netanyahu paham sekali bahwa perisai internasional bagi dirinya bukan sekadar aliansi, tetapi memastikan bahwa dirinya tidak bisa digantikan. Andaikan dirinya dikoyak-koyak, kepentingan geopolitik global di Timur Tengah pasti terganggu.
Netanyahu mengondisikan dunia untuk percaya bahwa setiap ancaman terhadap dirinya adalah ancaman terhadap eksistensi global.
Duterte tidak pernah membangun “mitos” pertahanan politik seperti itu di tingkat internasional.
Seolah-olah Netanyahu memberitahu dunia bahwa tidak peduli seberapa brutal kebijakan yang diterapkannya, selama ia masih berharga bagi “pemain besar dunia”, hukum internasional bisa dinegosiasikan.
Adapun Duterte hanyalah “pion kecil” dalam papan catur global yang mudah dipakai, tapi juga mudah dibuang.
Duterte berhasil memerintah dengan tangan besi di Filipina, tetapi dia gagal membangun jaringan perlindungan internasional.
Netanyahu, meskipun sama menggunakan tangan besi dalam kebijakan militer negaranya, memahami benar bahwa “pemain dunia” akan menjaganya tetap aman.
Ketidakadilan global
Terbukti, dunia internasional bekerja berdasarkan kekuatan dan untung rugi politik, bukan berdasarkan keadilan.
Duterte sudah tidak lagi berguna, sementara Netanyahu masih menjadi kartu penting dalam strategi geopolitik global.
Semakin yakin dari kasus Duterte bahwa hukum internasional pada dasarnya adalah papan catur politik. Ia bisa ditegakkan dengan ketat terhadap mereka yang lemah, tetapi bisa “diadutawarkan” bagi mereka yang memiliki kekuatan.
Tampaknya, para pemimpin di dunia sebaiknya belajar dari Netanyahu, bukan Duterte, jika ingin bertahan dalam sistem global.
Para pemimpin dunia harus memahami bahwa bertahan dalam sistem global membutuhkan lebih dari sekadar kepemimpinan domestik yang kuat, tapi juga membutuhkan jaringan perlindungan internasional yang kuat.
Jika Duterte adalah pemimpin negara yang memiliki pangkalan militer AS yang sangat strategis, atau memiliki kendali atas sumber-sumber mineral yang vital bagi ekonomi global, nasibnya mungkin akan semujur Netanyahu.
Netanyahu bahkan tidak perlu berusaha membela dirinya di pengadilan internasional, karena para “bodyguard internasional” sudah berlomba membela dan melindunginya.
Sudahlah, urusan Duterte sudah seperti itu, beda nasib dengan Netanyahu. Tapi, yang membuat sesak dada adalah ironi global dalam sistem hukum internasional.
Pemimpin dari negara berkembang yang melakukan kejahatan bisa segera ditangkap dan diadili, tetapi pemimpin dari negara maju atau sekutu kuat bisa melakukan hal yang sama tanpa konsekuensi nyata.
Ternyata, kejahatan perang bukan soal hukum, tetapi juga soal siapa yang punya kuasa untuk menentukan siapa yang bersalah.
Kita terus melihat paradoks ini berulang kali, bahkan sepertinya tidak akan berhenti sampai kiamat pun.
Kejahatan yang dilakukan oleh pemimpin dunia yang memiliki perlindungan internasional yang kuat hanya akan menjadi bahan diskusi untuk dispilin ilmu hubungan internasional di kampus-kampus.
Sementara mereka yang lemah akan menjadi contoh bagaimana hukum internasional bisa bekerja dengan cepat.
https://www.kompas.com/global/read/2025/03/13/063000170/antara-duterte-dan-netanyahu