Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bocor ke Publik, Bagaimana Skandal Telepon PM Thailand Picu Desakan Mundur?

Kompas.com - 20/06/2025, 07:37 WIB
Inas Rifqia Lainufar

Penulis

BANGKOK, KOMPAS.com – Perdana Menteri Thailand, Paetongtarn Shinawatra, tengah menghadapi tekanan politik yang semakin besar untuk mundur, setelah rekaman percakapan pribadinya dengan mantan Pemimpin Kamboja, Hun Sen, bocor ke publik dan menuai kecaman luas.

Rekaman berdurasi 17 menit itu, yang diunggah langsung oleh Hun Sen ke Facebook pada Rabu (18/6/2025), berisi diskusi mengenai ketegangan di perbatasan antara Thailand dan Kamboja. 

Alih-alih meredakan konflik, percakapan itu justru memicu krisis baru di tengah ketidakstabilan politik Thailand yang sudah berlangsung bertahun-tahun.

Baca juga: Baru 10 Bulan Menjabat, PM Thailand Didesak Mundur Usai Skandal Telepon

Isi percakapan telepon picu kontroversi

Dalam percakapan yang berlangsung dengan bantuan penerjemah bahasa Thai dan Khmer, Paetongtarn terdengar menyapa Hun Sen dengan sebutan "uncle" dan mengkritik militer Thailand sendiri.

“Sekarang ini, pihak sana ingin terlihat keren. Mereka akan mengucapkan hal-hal yang tidak menguntungkan bagi bangsa,” ujar Paetongtarn, mengacu pada militer Thailand. 

Ia juga menambahkan, “Kalau dia (Hun Sen) ingin sesuatu, katakan saja, dan kami akan mengaturnya.”

Pernyataan itu dianggap menunjukkan sikap terlalu lunak terhadap Hun Sen, dan menimbulkan kekhawatiran bahwa perdana menteri telah mengorbankan kepentingan nasional demi diplomasi personal.

Koalisi retak, desakan mundur menguat

Kemarahan publik dan elite politik atas rekaman ini langsung berdampak pada kestabilan pemerintahan. 

Pada Rabu malam, Partai Bhumjaithai, mitra terbesar kedua dalam koalisi pemerintahan, menarik dukungan, membuat partai Paetongtarn, Pheu Thai, kehilangan mayoritas stabil di parlemen.

“Ini menandai awal dari akhir pemerintahan Paetongtarn,” kata Napon Jatusripitak, analis politik Thailand dari ISEAS–Yusof Ishak Institute, Singapura.

Tak hanya dari oposisi, kritik juga datang dari internal koalisi. Para anggota parlemen dari berbagai kubu mendesak Paetongtarn mundur, karena dianggap telah merusak martabat dan posisi Thailand dalam sengketa perbatasan.

Respons Paetongtarn dan protes publik

Menanggapi tekanan tersebut, Paetongtarn menyatakan bahwa ucapannya dalam rekaman adalah bagian dari taktik negosiasi.

“Nada saya yang simpatik dan lunak adalah teknik diplomasi,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (19/6/2025).

Ia menambahkan bahwa tindakan Hun Sen yang menyebarkan rekaman tersebut tidak dapat diterima.

“Itu adalah percakapan pribadi yang seharusnya tidak dipublikasikan,” kata Paetongtarn.

“Apa yang saya lakukan adalah untuk meredakan ketegangan, bukan menyatakan keberpihakan," imbuhnya.

Namun, penjelasan itu tak cukup menenangkan publik. Pada Kamis (20/6/2025), puluhan pengunjuk rasa berkumpul di luar kantor Perdana Menteri di Bangkok, menuntut agar ia segera mengundurkan diri.

Baca juga: Thailand dan Kamboja Saling Gertak, Sengketa Memanas

Ketegangan perbatasan 

Percakapan tersebut terjadi di tengah meningkatnya ketegangan antara Thailand dan Kamboja menyusul bentrokan di perbatasan yang menewaskan seorang tentara Kamboja. Kedua negara saling menyalahkan atas insiden tersebut.

Kementerian Luar Negeri Thailand pun telah memanggil Duta Besar Kamboja dan melayangkan nota protes resmi, menyebut kebocoran percakapan sebagai “pelanggaran etika diplomatik” dan tindakan yang mengikis rasa saling percaya antarnegara.

Masalah lama kembali disorot

Skandal ini juga membuka kembali sorotan terhadap latar belakang politik keluarga Shinawatra.

Paetongtarn adalah putri bungsu dari Thaksin Shinawatra, mantan PM Thailand yang dikenal kontroversial dan baru kembali pada 2023 setelah 15 tahun dari pengasingan.

Meskipun divonis bersalah dalam kasus korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, Thaksin tidak pernah menjalani masa tahanan di penjara.

Ia justru dirawat di ruang VIP rumah sakit polisi selama enam bulan, dengan dalih menderita tekanan darah tinggi dan gangguan pernapasan.

Kendati demikian, bulan ini, Dewan Medis Nasional Thailand menyatakan bahwa tidak ada bukti kuat yang membenarkan perawatan selama itu.

Mahkamah Agung dijadwalkan memeriksa legalitas rawat inap tersebut pekan depan.

Ancaman kudeta?

Situasi ini semakin mengkhawatirkan karena terjadi di saat Thailand tengah merundingkan kesepakatan dagang dengan pemerintahan Amerika Serikat dan belum menemukan jalan keluar atas konflik perbatasan dengan Kamboja.

Meski militer belum mengambil tindakan langsung, kekhawatiran akan intervensi militer tetap menghantui.

Diketahui, Thailand memiliki sejarah panjang kudeta, dan banyak pengamat menilai elite konservatif mungkin memilih jalur hukum untuk menggulingkan pemerintahan Paetongtarn.

Sementara itu, Panglima Angkatan Darat Thailand menyerukan persatuan nasional.

“Yang paling penting sekarang adalah rakyat Thailand bersatu. Kepentingan nasional harus tetap menjadi prioritas utama,” ujarnya dalam pernyataan resmi, Kamis (19/6/2025).

Baca juga: Thailand-Kamboja Bentrok di Perbatasan, Ada Apa?

 

Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau