BANDUNG, KOMPAS.com – Fenomena tagar #KaburAjaDulu dinilai bukan sekadar tren sesaat, tetapi cerminan dari kondisi ekonomi dan sosial yang terus memburuk bagi generasi muda.
Hal tersebut disampaikan Dosen Peneliti Tenaga Kerja di Sekolah Bisnis Manajemen Institut Teknologi Bandung (SBM ITB), Dr. Muhammad Yorga Permana dalam rilisnya, Senin (17/2/2025).
Yorga mengidentifikasi tiga faktor utama yang mendorong anak muda mencari peluang di luar negeri.
Baca juga: Profil Seno Aji, Wakil Gubernur Kalimantan Timur Terpilih 2025-2030
Pertama, kebijakan pemerintah dinilai tidak cukup menciptakan lapangan kerja. Kemarahan anak muda telah terakumulasi sejak era COVID-19, terutama karena kebijakan yang dirasa tidak pernah berpihak kepada mereka.
Kedua, meningkatnya kesempatan kerja di luar negeri.
“Fenomena ini bukan hal baru, tetapi kini menjadi gunung es yang meledak akibat kombinasi angka pengangguran yang tinggi dan akses informasi yang lebih terbuka tentang peluang kerja serta beasiswa luar negeri,” jelasnya.
Baca juga: Billy Syahputra Ungkap Hilangnya Uang Rp 2 Miliar dari Rekening Olga, Siapa yang Ambil?
Ketiga, kesiapan anak muda dalam menghadapi dunia kerja menjadi faktor krusial.
Persiapan yang matang diperlukan agar mereka lebih siap dan tangguh dalam menghadapi tantangan di dunia kerja.
Artinya rasa frustasi akibat persiapan yang belum cukup di masa transisi sekolah ke dunia kerja turut menjadi pendorong kemarahan mereka terhadap ketidakpastian iklim dunia kerja.
Saat ini, kondisi pasar kerja Indonesia menghadapi tantangan serius.
“Pekerjaan layak di Indonesia sangat terbatas. Angka pengangguran resmi mencapai 7,2 juta orang, tetapi ada yang disebut hidden unemployment yang jumlahnya diperkirakan mencapai 12–15 juta orang,” tutur dia.
“Selain itu, hanya 40 persen dari pekerjaan yang masuk kategori sektor formal, sementara 60 persen lainnya merupakan pekerjaan informal. Jika bicara sektor formal, sebenarnya hanya 24 persen dari mereka yang benar-benar memiliki kontrak kerja formal,” papar Yorga.
Situasi ini semakin diperburuk dengan gelombang PHK. Data resmi pemerintah menunjukkan bahwa lebih dari 80.000 orang telah kehilangan pekerjaan di tahun 2024, dan kemungkinan jumlahnya lebih besar.
Jika rasa frustrasi ini dikaitkan dengan realitas ekonomi dan politik, dampaknya bisa sangat luas. Ketika seseorang tidak memiliki pekerjaan, maka mereka tidak memiliki pendapatan.
Hal ini menyebabkan melemahnya kelas menengah, yang seharusnya menjadi penopang demokrasi.