KOMPAS.com – Tahu Kupat merupakan salah satu kuliner khas Solo, Jawa Tengah, yang hingga kini masih menjadi favorit masyarakat lokal maupun wisatawan.
Hidangan ini cukup mudah ditemui di berbagai sudut kota Solo dan sekitarnya, meski di luar daerah asalnya makanan ini tergolong langka.
Lantas, bagaimana asal-usul Tahu Kupat hingga menjadi ikon kuliner Solo?
Sejarawan Belanda Hermanus Johannes de Graaf dalam Sejarah Melayu (1950) mencatat bahwa Sunan Kalijaga, salah satu anggota Wali Songo, memperkenalkan ketupat sebagai bagian dari strategi dakwah Islam di tanah Jawa.
Tradisi membuat ketupat biasanya muncul setelah Ramadan berakhir, tepat saat perayaan Idulfitri. Masyarakat diajak untuk menganyam janur atau daun kelapa muda, mengisinya dengan beras, lalu merebus hingga matang.
Baca juga: Resep Tahu Kupat Tuban, Manfaatkan Ketupat Sisa Lebaran
Namun, sejarah ketupat ternyata lebih panjang. Jauh sebelum masuknya Islam, masyarakat Jawa dan Bali sudah mengenal hidangan serupa bernama tipat.
Makanan itu sering digantung di depan rumah sebagai simbol perlindungan spiritual sekaligus persembahan kepada Dewi Sri, dewi kesuburan dalam mitologi Hindu-Jawa.
Ketupat atau kupat dalam budaya Jawa tidak hanya berfungsi sebagai makanan, melainkan juga sarat simbolisme. Filosofi laku papat menjelaskan empat makna penting dalam anyaman ketupat:
1. Lebaran – berasal dari kata “lebar” yang berarti selesai, menandai berakhirnya ibadah puasa.
2. Luberan – melambangkan limpahan berkah dan ajakan bersedekah.
3. Leburan – berarti melebur, sebagai simbol saling memaafkan dan menghapus dosa.
4. Laburan – dari kata “kapur putih”, menggambarkan pembersihan diri agar kembali suci.
Selain itu, dalam istilah populer, kata “kupat” sering dipahami sebagai akronim dari ngaku lepat atau mengakui kesalahan.
Karena itu, ketupat selalu hadir dalam perayaan Idulfitri sebagai simbol perdamaian dan rekonsiliasi.
Baca juga: 10 Makanan Indonesia dengan Rating Terburuk 2024, Ada Kupat Tahu dan Lawar