Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tanggapan Konglomerat Properti soal Rumah Subsidi yang Makin Sempit

Rencana yang tertuang dalam draf Keputusan Menteri PKP Nomor/KPTS/M/2025, bertujuan memperluas akses Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) terhadap hunian layak, terutama di tengah keterbatasan lahan perkotaan.

Secara spesifik, draf beleid ini mengusulkan penurunan luas tanah minimal rumah subsidi dari 60 meter persegi menjadi 25 meter persegi, dan luas bangunan minimal dari 21 meter persegi menjadi 18 meter persegi.

Meskipun demikian, luas maksimal rumah subsidi tidak berubah, yakni luas tanah maksimum tetap 200 meter persegi dan luas lantai paling besar 36 meter persegi.

Managing Director PT Ciputra Development Tbk (CTRA) Budiarsa Sastrawinata menyambut baik rencana ini.

Menurutnya, draf Keputusan Menteri PKP ini akan "memperluas dan memberikan pilihan bagi pengembang untuk membangun rumah subsidi di tengah lahan yang semakin terbatas dan harga yang tinggi di perkotaan."

Selama ini, rumah subsidi kerap berlokasi di pinggiran bahkan pelosok kota karena harga lahan yang mahal.

Hal ini seringkali membuat MBR enggan membeli karena jauh dari transportasi umum dan fasilitas.

Dengan adanya perubahan standar minimal, pengembang kini memiliki opsi untuk membangun rumah subsidi di lokasi yang lebih strategis dan dekat pusat kota, meskipun dengan ukuran yang lebih kecil.

"Ini menjadi pilihan bagi pengembang untuk membangun rumah subsidi di kota yang lahannya sudah mahal dan juga pilihan bagi konsumen masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang ingin tinggal di kota," jelas Budiarsa.

Budiarsa meyakini bahwa rumah dengan ukuran 18 meter persegi tetap layak huni sebagai tempat tinggal pertama bagi MBR yang baru mulai bekerja.

Ia optimistis, seiring kenaikan pendapatan, MBR akan berpindah ke hunian yang lebih luas.

Penting dicatat, draf beleid ini bersifat pilihan, bukan kewajiban. Pengembang masih bisa membangun rumah dengan ukuran luas bangunan maksimal 36 meter persegi.

Ini memberikan fleksibilitas bagi pengembang dan MBR untuk memilih sesuai kebutuhan dan kemampuan.

"Jadi misalnya di kota harga rumah subsidi bisa Rp 150 juta dengan ukuran 18 meter persegi, lalu dipinggiran harga rumah subsidi berbeda dengan ukuran yang lebih besar yakni 21 meter persegi hingga 36 meter persegi. Ini kan jadi pilihan untuk MBR. Kalau dia tidak mau rumah subsidi ukuran kecil ya bisa mencari di pinggiran kota yang lebih besar," tambah Budiarsa.

Harmonisasi Harga dan Optimisme Pemerintah

Budiarsa juga berharap pemerintah menyesuaikan harga rumah subsidi untuk ukuran 18 meter persegi ini.

Saat ini, harga rumah subsidi 2025 masih mengikuti Keputusan Menteri PUPR Nomor 689/KPTS/M/2023, yang menetapkan harga untuk luas bangunan 21-36 meter persegi mulai dari Rp 166 juta hingga Rp 240 juta.

Penyesuaian harga untuk ukuran yang lebih minimalis akan membuat opsi ini semakin terjangkau.

Sementara itu, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait, menegaskan bahwa prinsip dari penyusunan draf peraturan ini adalah "untuk mendorong pembangunan rumah subsidi di kawasan perkotaan di mana lahan yang ada sangat terbatas."

"Tapi tujuan saya sangat baik. Kenapa? Supaya makin banyak [masyarakat] yang bisa mendapat manfaat. Dan kira-kira ada nggak ruginya buat konsumen? atau malah nggak ada. Kan dia yang pilih rumahnya. Saya optimis kok peraturan ini sangat baik," ujar Maruarar.

Ia percaya, dengan desain yang baik, rumah subsidi meskipun kecil bisa dibangun bertingkat dan sesuai kebutuhan konsumen.

Pemerintah pun sangat terbuka terhadap masukan untuk pembahasan peraturan ini.

https://www.kompas.com/properti/read/2025/06/07/212514121/tanggapan-konglomerat-properti-soal-rumah-subsidi-yang-makin-sempit

Bagikan artikel ini melalui
Oke