Kantor mewah para wakil rakyat ini merupakan titik utama penyampaian aspirasi oleh masyarakat, meskipun hanya bisa mereka lakukan sampai depan gerbang kompleks saja.
Bangunan ini tidak hanya berfungsi sebagai pusat kegiatan wakil rakyat, tetapi juga menyimpan sejarah panjang yang terkait dengan dinamika politik dan pembangunan nasional sejak era Presiden pertama RI, Soekarno.
Berikut sejarah Gedung DPR di Senayan, dilansir dari laman resmi MPR RI, Jumat (29/08/2025).
Untuk mewujudkan gagasan tersebut, Soekarno mengeluarkan Surat Keputusan Presiden RI Nomor 48/1965 pada 8 Maret 1965 tentang pembangunan gedung yang kelak menjadi cikal bakal kompleks DPR/MPR/DPD RI di Senayan.
Arsitektur gedung dipercayakan kepada Soejoedi Wirjoatmodjo, seorang arsitek Indonesia yang kala itu dikenal dengan gaya modernis.
Desain rancangan karya Soejoedi kemudian disahkan langsung oleh Soekarno pada 22 Februari 1965.
Namun, perjalanan pembangunan tidak berjalan mulus. Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) pada 1965 membuat proyek ini terhenti.
Baru pada 9 November 1966, pembangunan dilanjutkan kembali melalui Surat Keputusan Presidium Kabinet Ampera Nomor 79/U/Kep/11/1966. Peruntukan gedung pun berubah, dari semula untuk CONEFO menjadi Gedung MPR/DPR RI.
Gedung Nusantara
Kompleks DPR/MPR/DPD RI terdiri dari sejumlah bangunan utama yang memiliki fungsi berbeda-beda.
Yang paling ikonik adalah Gedung Nusantara, dikenal luas dengan sebutan Gedung DPR, yang berbentuk kubah setengah lingkaran.
Desain kubah tersebut melambangkan kepakan sayap burung yang bersiap lepas landas, merepresentasikan semangat kebangkitan bangsa.
Gedung Nusantara digunakan sebagai ruang sidang utama, termasuk untuk sidang paripurna DPR dan sidang tahunan MPR.
Selain itu, terdapat Gedung Nusantara I, gedung bertingkat setinggi 100 meter dengan 24 lantai. Gedung ini menjadi salah satu pusat kegiatan kerja anggota dewan, dengan ruang-ruang kerja fraksi dan komisi.
Kompleks ini juga memiliki Gedung Nusantara II, III, IV, dan V, masing-masing difungsikan untuk mendukung berbagai aktivitas parlemen.
Ada pula Gedung Bharana Graha, Gedung Sekretariat Jenderal MPR/DPR/DPD, Gedung Mekanik, hingga Masjid Baiturrahman yang berada di area kompleks.
Di halaman depan kompleks gedung DPR/MPR/DPD, pengunjung akan langsung disambut oleh kolam air mancur dengan Patung Elemen Estetik yang berdiri megah diapit 35 tiang bendera.
Patung ini menjadi titik pandang utama sebelum menaiki tangga besar menuju Gedung Nusantara.
Patung Elemen Estetik merupakan karya But Mochtar dari Departemen Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB).
Bentuknya berupa tiga bulatan yang saling berhubungan dan berkesinambungan, melambangkan kesatuan serta kesinambungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dibuat dari konstruksi rangka besi dengan lapisan tembaga, patung ini ditanamkan pada pondasi beton kokoh.
Proses pembuatannya rampung pada 1977 dan sejak itu menjadi salah satu simbol artistik dari kompleks parlemen di Senayan.
Fungsi dan Citra
Sejak selesai dibangun, Kompleks Parlemen Senayan tidak hanya menjadi tempat kerja anggota legislatif, tetapi juga saksi berbagai peristiwa penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia.
Mulai dari sidang paripurna, pelantikan presiden dan wakil presiden, berbagai rapat konstitusional, hingga Reformasi 1998.
Dengan arsitektur megah, fasilitas lengkap, serta nilai sejarah yang kuat, gedung parlemen Indonesia kerap disebut sebagai salah satu gedung pemerintahan termegah di Asia Tenggara.
Kompleks ini tidak hanya merepresentasikan pusat kekuasaan legislatif, tetapi juga menjadi bagian dari identitas nasional yang terus melekat hingga kini.
https://www.kompas.com/properti/read/2025/08/29/131043021/sejarah-gedung-dpr-di-senayan-tempat-kerja-mewah-wakil-rakyat