JAKARTA, KOMPAS.com - Tunjangan perumahan yang diterima oleh setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) senilai Rp 50 juta per bulan dibandingkan dengan backlog perumahan sebesar 9,9 juta rumah tangga bagaikan surga dan neraka.
"Kondisi yang sangat timpang inilah yang ditangkap masyarakat, ibarat surga dan neraka. Mereka melihat betapa mewahnya rumah dinas atau tunjangan rumah anggota DPR itu," ujar Ahli Tata Kota dan Permukiman Jehansyah Siregar saat dihubungi Kompas.com, Rabu (20/08/2025).
Hal ini menyusul ramainya kritik terhadap DPR yang mendapatkan berbagai macam tunjangan, salah satunya untuk perumahan.
Baca juga: Paradoks 9,9 Juta Orang Belum Merdeka Punya Rumah, Apartemen Jadi Ghost Buildings
Adapun tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan tersebut diberikan sebagai ganti rumah dinas yang tidak lagi diberikan kepada anggota DPR.
Namun, tunjangan perumahan itu tidak didapatkan oleh pimpinan DPR karena mereka masih disediakan rumah dinas oleh negara.
Menurut Jehansyah, langkah pertama adalah DPR perlu memberikan penjelasan lengkap guna meredam kegaduhan ini.
"Nah, jika sudah dijelaskan pun masih banyak nada protes dari masyarakat, harap dimaklumi sajalah," lanjutnya.
Respons negatif dari masyarakat ini disinyalir juga timbul karena kinerja Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan DPR yang buruk dalam mengentas masalah perumahan di Indonesia selama 10 tahun terakhir.
Baca juga: Komentari Isu PBB, Anies: Rumah Itu Hak Asasi Manusia, Jangan Dipajaki
"Angka housing backlog dan permukiman kumuh malah bertambah atau setidaknya tak berkurang signifikan. Jadi, protes masyarakat ini sangat relevan," kata Jehansyah.
Sementara DPR bisa dengan mudah memilih hendak tinggal di hunian bergaya seperti apa lewat tunjangan perumahan yang mereka dapat, puluhan juta warga masih menghuni kawasan kumuh di bantaran sungai kota-kota besar.
Ditambah lagi, kinerja penyediaan air bersih dan sanitasi yang juga jalan di tempat.
Sebagai solusi, dibandingkan harus mengeluarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang berasal dari pajak rakyat sebesar Rp 50 juta per bulan untuk setiap anggota DPR di tengah masa efisiensi anggaran, Jehansyah mengusulkan wakil rakyat untuk mengontrak sebanyak 575 rumah warga selama lima tahun di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan.
"Harga kontraknya pun perlu dikurangi. Besaran Rp 600 juta per tahun itu masih terlalu tinggi. Dikurangilah separuh menjadi Rp 300 juta per tahun," usulnya.
Baca juga: Tak Lagi di Belakang, Dapur Rumah Modern Harus di Depan
Usulan lainnya, DPR bersama Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), dan Kementerian Keuangan melakukan revitalisasi 24 hektar Kompleks Perumahan DPR di Kalibata, Jakarta Selatan menjadi hunian vertikal atau apartemen.
Diperkirakan, sebanyak 20 tower apartemen bisa dibangun di kawasan tersebut. Sebagiannya bisa digunakan untuk hunian anggota DPR, sementara sebagian lain bisa dikelola oleh Perum Perumnas dan disewakan kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun masyarakat umum.