KOMPAS.com – Perdebatan mengenai siapa sosok di balik gagasan pembangunan Tugu Nasional—kini dikenal sebagai Monumen Nasional (Monas)—masih menyisakan tanda tanya bagi sebagian masyarakat.
Meskipun tercatat dalam berbagai arsip sejarah, nama penggagas monumen kebanggaan bangsa ini kerap luput dari pembahasan publik.
Baca juga: Sejarah Pembangunan Monas
Sebuah artikel karya mantan Wali Kota Jakarta, Sudiro, yang terbit pada 1976, mencoba meluruskan fakta sejarah tersebut.
Dalam tulisan yang dimuat di salajh satu media dan kemudian dikutip dalam buku memoarnya, Sudiro mengungkapkan bahwa ide besar tidak selalu lahir dari tokoh besar.
Menurut Sudiro, gagasan pembangunan Monas tidak muncul dari pejabat tinggi atau politisi, melainkan dari seorang warga biasa bernama Sarwoko Martokoesoemo.
Sarwoko adalah adik dari Mr. Sartono, pembela Bung Karno saat diadili di Bandung. Ia dikenal memiliki kepekaan terhadap sejarah perjuangan bangsa dan cita-cita nasionalisme.
Sarwoko bermimpi agar Jakarta, sebagai ibu kota negara, memiliki simbol perjuangan yang dapat sejajar dengan monumen besar di negara lain.
Menurutnya, Tugu Nasional adalah wujud paling tepat untuk ditempatkan di Lapangan Merdeka, tempat sakral yang menjadi saksi sejarah kemerdekaan Indonesia.
Gagasan itu disampaikan kepada Wali Kota Sudiro, yang merasa terkesan dan menyarankan agar Sarwoko membentuk panitia khusus.
Sudiro kemudian meneruskan ide tersebut kepada Presiden Soekarno, yang ternyata sangat mendukung rencana pembangunan monumen tersebut.
Dalam sebuah momen bersejarah pada 17 Agustus 1955, setelah memimpin upacara peringatan 10 tahun Proklamasi, Soekarno dan Hatta semobil menuju Lapangan Merdeka.
Baca juga: Beragam Senjata Tradisional Khas Jakarta
Di tengah perjalanan, Soekarno meminta mobil berhenti. Ia menjelaskan gagasan pembangunan Tugu Nasional kepada Bung Hatta dan mulai membicarakan langkah-langkah realisasinya.
Walau nama Sarwoko tercatat sebagai anggota kepanitiaan hingga 1959, ia kemudian tidak lagi terlibat dalam pembangunan Monas.
Namanya pun perlahan terlupakan, meskipun dialah penggagas awal berdirinya monumen ini.
Gagasan tentang Tugu Nasional, yang kemudian berganti nama menjadi Monumen Nasional, tetap melekat pada sosok Sarwoko Martokoesoemo, seorang rakyat biasa dengan sumbangsih luar biasa bagi bangsa.
Sekelompok pegiat kebaya, menggelar kampanye gerakan #SelasaBerkebaya di sekitaran Tugu Monas, Jakarta Pusat, Selasa (2/7/2019). Kampanye #SelasaBerkebaya ini digagas untuk membiasakan perempuan mengenakan kebaya.Gagasan pembangunan Monas muncul pada dekade 1950-an, sebagai wujud kebutuhan akan monumen kebangsaan di ibu kota negara.
Secara resmi, pembangunan dimulai pada 17 Agustus 1961, ditandai dengan Presiden Soekarno yang menancapkan pasak beton pertama sebagai fondasi proyek.
Pembangunan Monas diprakarsai oleh Panitia Monumen Nasional yang diketuai oleh Kolonel R. Umar Wirahadikusuma.
Proyek ini berlangsung dalam tiga tahap besar:
Monas akhirnya dibuka untuk umum pada 12 Juli 1975 oleh Presiden Soeharto.
Baca juga: Tehyan dan Tanjidor, Alat Musik Tradisional DKI Jakarta
Monas dirancang dengan makna filosofis mendalam.
Dua arsitek Indonesia, Soedarsono dan Frederich Silaban, bersama konsultan teknik Ir. Roosseno, menuangkan simbol perjuangan rakyat ke dalam setiap elemen bangunan.
Tugu utama Monas berbentuk lingga dan yoni, melambangkan kesuburan serta kehidupan. Filosofi ini menggambarkan bangsa Indonesia yang lahir dan tumbuh dari perjuangan rakyatnya.
Di puncak Monas terdapat lidah api dari perunggu seberat 14,5 ton yang dilapisi emas murni. Api tersebut melambangkan semangat perjuangan bangsa Indonesia yang abadi, tidak pernah padam oleh waktu.
Setiap ukuran pada bangunan Monas memiliki arti simbolik:
Ketiga elemen ini melambangkan tanggal Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (17-8-1945), hari keramat yang menandai lahirnya bangsa.
Baca juga: Jakarta Informal Meeting: Latar Belakang, Tujuan, dan Penyelenggaraan
Referensi: