KOMPAS.com – Serat Centhini dikenal sebagai salah satu karya sastra terbesar dalam sejarah budaya Jawa.
Ditulis lebih dari 200 tahun lalu, karya ini bukan sekadar buku cerita, tetapi juga memuat petualangan, pelajaran hidup, dan gambaran lengkap kebiasaan masyarakat Jawa tempo dulu.
Serat Centhini sering disebut sebagai “ensiklopedi Jawa” karena isinya yang sangat kaya.
Dalam 12 jilid dengan sekitar 4.200 halaman folio, Serat Centhini memuat berbagai aspek kehidupan, mulai dari agama, adat, seni, filsafat, hingga ilmu praktis sehari-hari.
Baca juga: Fungsi dan Filosofi Makanan dalam Serat Centhini
Penulisan Serat Centhini dimulai pada tahun 1814 atas perintah Pangeran Adipati Anom Amangkunegara III, putra mahkota Keraton Surakarta yang kemudian naik takhta sebagai Sunan Pakubuwono V.
Penulisannya memakan waktu sekitar sembilan tahun, hingga rampung pada 1823.
Untuk menyusun karya besar ini, Pangeran Adipati Anom menunjuk tiga pujangga keraton, yaitu:
Ketiganya melakukan riset lapangan secara langsung, mengumpulkan pengetahuan tentang budaya, agama, adat istiadat, flora, fauna, obat-obatan tradisional, hingga cerita rakyat.
Hasil riset itu kemudian disusun oleh Pangeran Adipati Anom sebagai koordinator utama menjadi sebuah karya sastra yang lengkap dan bernilai seni tinggi.
Baca juga: Nenek Moyang Orang Jawa Menurut Serat Jayabaya Jangka Sengkala
Serat Centhini disampaikan dalam bentuk tembang macapat, yaitu puisi tradisional Jawa dengan pola dan irama tertentu.
Selain memuat informasi dan pengetahuan, bentuk ini juga memberi nilai estetis yang memperkaya karya tersebut.
Cerita utama dalam Serat Centhini berfokus pada tiga anak Sunan Giri, Jayengresmi, Jayengsari, dan Rancangkapti yang terpisah akibat perang.
Dalam upaya mencari keluarga mereka, ketiganya berkeliling Pulau Jawa, bertemu berbagai orang, dan belajar banyak hal: mulai dari cara berdoa, membuat makanan, bermain musik, menari, mengenal adat istiadat, hingga memahami filsafat hidup dan agama.
Selain itu, karya ini juga memuat dongeng, legenda, ramalan, nasihat moral, hingga pengetahuan praktis seperti pertanian, pengobatan tradisional, dan kalender Jawa.
Nilai-nilai yang diajarkan antara lain persahabatan, cinta keluarga, kejujuran, dan pentingnya menuntut ilmu.
Baca juga: Serat Wulang Pandhita Tekawardi, Warisan Masa Pakubuwana II