KOMPAS.com - Presiden Prabowo Subianto menyinggung peliknya urusan batas wilayah Indonesia dengan Malaysia dalam pidato kenegaraan di Sidang Tahunan MPR 2025.
Mengutip dari Kompas.com (16/08/2025), Prabowo menilai persoalan perbatasan ini merupakan warisan dari penjajah.
"Ada masalah, kadang-kadang masalah garis perbatasan. Masalah ini adalah warisan dari kolonialis, warisan dari penjajah,” ujar Prabowo dari mimbar sidang di Gedung Nusantara, Kompleks Paremen RI, Jumat (15/08/2025) kemarin.
Pernyataan tersebut menyinggung langsung akar sejarah penetapan batas di Pulau Kalimantan, yang salah satunya diatur dalam Konvensi London 1891.
Baca juga: Apa Alasan Malaysia Mengklaim Blok Ambalat?
Seperti apa latar belakang dan dampak Konvensi London 1891 terhadap Indonesia dan Malaysia?
Menyadur dari buku Membangun Kedaulatan Bangsa Berdasarkan Nilai-nilai Pancasila (2015) karya Sutaryo dkk, pada masa lalu, Indonesia dan Malaysia tidak terpisah secara politik.
Keduanya disatukan secara sosio-religius-kultural dengan jaringan niaga, ulama, atau rohaniwan.
Akibat kolonialisme, keduanya terpisah secara politik. Indonesia dijajah Pemerintah Hindia Belanda, sedangkan Malaysia dijajah Pemerintah Kolonial Inggris.
Dokumen resmi pertama yang mengatur mengenai perbatasan darat antara Indonesia dan Malaysia di Pulau Kalimantan adalah Konvensi Perbatasan atau Konvensi London yang ditandatangani di London pada tanggal 20 Juni 1891 oleh Britania Raya dan Belanda.
Perjanjian berikutnya ditandatangani pada tahun 1915 dan 1928 untuk mengatur lebih lanjut mengenai penetapan perbatasan.
Konvensi London 1891 menyatakan bahwa ujung timur perbatasan berada di 4°10” Lintang Utara, yang terus ke arah barat melintai Pulau Sebatik di lepas pantai Sabah, membagi pulau tersebut menjadi dua.
Bagian utara dikuasai oleh Borneo Utara Britania, sedangkan bagian selatan dikuasai oleh Hindia Belanda. Perbatasan kemudian melintasi selat anatara Sebatik dan daratan, yang membentang di sepanjang garis tengah Tambu dan Sikapal hingga bukit yang membentuk sungai Simengaris (di Indonesia) dan Serudung (di Malaysia).
Baca juga: Kesepakatan Patok Batas Wilayah Indonesia dan Malaysia
Berdasarkan jurnal The Territorial Dispute between Indonesia and Malaysia over Pulau Sipadan and Pulau Ligitan in the Celebes Sea: A Study in International Law (1995) oleh R. Haller-Trost, atura perbatasan tersebut hanya mencakup wilayah darat, bukan laut.
Akibatnya, masalah batas maritim, termasuk di Laut Sulawesi, Sipadan, Ligitan, hingga Blok Ambalat muncul belakangan dan menjadi sumber sengketa antara Indonesia dan Malaysia.
Penundaan pembahasan batas maritim pada masa kolonial menunjukkan bahwa penjajah hanya fokus pada kepentingan darat.
Konvensi London 1891 menunjukkan bagaimana penjajah menentukan garis batas tanpa melibatkan masyarakat lokal yang terdampak.
Hingga hari ini, hasil kesepakatan itu masih diadopsi dan menjadi dasar hukum perbatasan kedua negara.
Baca juga: Mengapa Terjadi Sengketa Batas Wilayah antara Indonesia dan Malaysia?
(Sumber: KOMPAS.com/Irfan Kamil| Editor: Danu Damarjati)
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini