Agaknya, pepatah tersebut cukup bersambung dengan fenomena munculnya slogan “Kami Generasi Perintis, Bukan Pewaris” di media sosial belakangan ini.
Slogan tersebut ternyata banyak diamini oleh Generasi-Z (Gen-Z). Bagi mereka slogan itu bukan sekadar tren retoris. Ia merupakan ekspresi kesadaran diri kolektif yang menolak warisan narasi ketergantungan terhadap orangtua dan masyarakat sebelumnya.
Saat ini (2025) jumlah kaum muda Gen Z di Indonesia diperkirakan sekitar 75 juta jiwa, atau 27,94 persen dari total populasi. Maka, semboyan mereka yang ingin menjadi subyek mandiri, menarik untuk dibaca secara mendalam.
Sementara jika kita melakukan pembacaan dalam konteks sosiologi, fenomena ini sebenarnya bukanlah keterputusan antargenerasi yang absolut, melainkan bentuk pemberontakan simbolik terhadap konstruksi sosial yang dianggap menghambat otonomi dan legitimasi eksistensial generasi muda.
Namun demikian, perlu disadari bahwa warisan sosial tetap sebagai fakta sosial. Di mana kaum strukturalis, sejak Émile Durkheim, menegaskan bahwa masyarakat mendahului individu.
Norma, nilai, dan institusi hadir sebagai fakta sosial yang bersifat memaksa (coercive) terhadap setiap individu yang lahir kemudian.
Dalam logika ini, tidak ada individu yang lahir dari ruang hampa; semua adalah produk sejarah sosial, ekonomi, dan budaya yang diwariskan.
Namun, pernyataan “Generasi Perintis” justru memosisikan diri di luar narasi tersebut—seolah legitimasi eksistensi tidak lagi ditentukan oleh kesinambungan warisan, tetapi oleh penciptaan diri yang otonom.
Narasi tersebut juga bisa dimaknai sebagai pemberontakan sekaligus kritik terhadap ketergantungan struktural.
Di mana relasi selama ini terasa hegemonic, yang akhirnya mengekang apa yang disebut sebagai kehendak bebas dalam menentukan pilihan--meski harus “berdarah-darah” dalam memperjuangkan eksistensinya.
Terlebih lagi jika dibaca secara kritis, slogan ini adalah protes terhadap model warisan yang problematis: warisan yang bersifat beban, membelenggu, atau bahkan menciptakan ketidakadilan antargenerasi.
Gen-Z melihat bahwa “warisan” tidak selalu berarti modal positif (cultural, social, economic capital), melainkan dapat berupa hutang ekologis, krisis ekonomi, atau struktur sosial yang stagnan.
Di sini, pemberontakan ini menyerupai aksi destituent power (Agamben, 2014)—bukan sekadar merebut kekuasaan dari generasi sebelumnya, tetapi membongkar struktur yang dianggap tidak layak dilestarikan.
Secara positif upaya pemutusan hubungan tersebut tentu menjadi jalan pencerahan Gen-Z dalam menghadapi persoalan kekinian yang ada di hadapan.
Kepercayaan diri mereka begitu penting dalam menjalani dinamika sosial-budaya mereka dalam upaya pembuktian statemen tersebut.
Kemudian jika didalami secara historis, pewarisan sosial identik dengan transfer nilai, aset, dan posisi sosial. Hal-hal seperti itu, alih-alih menjadi modal bagi Gen-Z, malah dirasakan seperti liabilitas yang menghambat perubahan serta mendegradasi kepercayaan diri mereka sendiri.
Sementara itu dalam masyarakat yang ditandai percepatan teknologi, disrupsi ekonomi, dan krisis iklim, kecepatan perubahan melampaui kemampuan nilai lama untuk relevan.
Gen-Z tidak sekadar ingin mewarisi, mereka ingin mendesain ulang visi masa depan mereka sendiri. Dalam istilah Pierre Bourdieu, mereka mencoba keluar dari habitus yang diwariskan dan membentuk habitus baru yang sesuai dengan lanskap kontemporer.
Meski demikian, deklarasi “Generasi Perintis” tidak otomatis menghapus ketergantungan struktural. Secara material, mereka masih terhubung dengan infrastruktur, pendidikan, dan modal sosial yang dibentuk generasi sebelumnya.
Kritik ini menjadi ironis jika tidak diiringi kesadaran bahwa pemberontakan pun bertumpu pada sumber daya warisan, baik yang diterima maupun yang dilawan.
Dengan kata lain, mereka menolak bentuk warisan tertentu sambil memanfaatkan bentuk lainnya.
Maka dari itu, mitos-mitos kemandirian yang digaungkan harus dimaknai juga sebagai semangat untuk menghasilkan warisan baru, yang dalam hal ini berbentuk nilai-nilai.
Di mana secara sosiologis, gerakan ini memperlihatkan pola klasik perubahan sosial seperti pemberontakan yang kemudian menjadi sumber warisan bagi generasi berikutnya.
Jika gerakan ini berhasil, “Generasi Perintis” akan meninggalkan legasi berupa nilai kemandirian, inovasi, dan kritik terhadap status quo.
Namun, jika gagal, ia akan menjadi retorika kosong yang terjebak dalam siklus ketergantungan baru—misalnya ketergantungan pada platform digital, ekonomi gig, atau ekosistem kapitalisme global.
“Generasi tanpa Warisan” dalam arti Generasi Perintis adalah manifesto pembebasan diri dari narasi ketergantungan yang dipandang tidak relevan atau merugikan.
Ia adalah bentuk kritik yang memaksa kita merefleksikan ulang arti warisan, pewarisan, dan keberlanjutan sosial.
Pemberontakan ini bukan penolakan total terhadap masa lalu, tetapi upaya mendefinisikan ulang hubungan antargenerasi di era yang ditandai percepatan perubahan dan krisis multidimensi.
Dalam jangka panjang, pertanyaan pentingnya bukan apakah mereka pewaris atau perintis, tetapi warisan macam apa yang akan mereka tinggalkan.
Sebagai orang tua, sebenarnya “proklamasi” kalangan muda ini hendaknya disikapi secara bijak. Tidak perlu juga dihakimi sebagai bagian dari kedangkalan pikiran kaum Gen-Z. Karena tiap masa selalu ada isu dan orangnya; karena tiap orang selalu ada masanya.
https://www.kompas.com/tren/read/2025/09/08/110658665/generasi-tanpa-warisan