KOMPAS.com - Besaran gaji dan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menjadi sorotan.
Banyak masyarakat menilai jumlahnya terlalu besar jika dibandingkan dengan kinerja para wakil rakyat.
Polemik ini semakin ramai diperbincangkan setelah muncul informasi mengenai besaran tunjangan yang dinilai tidak sejalan dengan kondisi ekonomi masyarakat.
Baca juga: Pemerintah Kejar Penerimaan Pajak tapi Pajak DPR Dibayarkan Negara...
Sosiolog Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedillah Badrun, menegaskan bahwa anggota DPR sejatinya adalah representasi rakyat.
“Mereka menjadi anggota DPR karena dipilih rakyat, digaji dari pajak rakyat. Karena itu, mereka seharusnya bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan lain,” ujarnya kepada Kompas.com, Rabu (27/8/2025).
Menurut Ubedillah, setiap wakil rakyat seharusnya terikat dengan etika kepublikan, sehingga orientasi utama tetap pada kepentingan publik.
“Anggota DPR yang tidak bekerja untuk rakyat secara otomatis bertentangan dengan etika publik, bertentangan dengan norma standar yang menentukan baik dan buruk,” tegasnya.
Ia menekankan, integritas, akuntabilitas, transparansi, profesionalitas, dan perilaku etis merupakan standar etik yang wajib melekat pada DPR.
Baca juga: Respons Ideal DPR Saat Didemo Warga...
Lebih jauh, Ubedillah mengingatkan agar anggota DPR peka terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat.
“Hidup mewah di tengah penderitaan rakyat, apalagi dipamerkan, hanya akan memicu kontras sosial. Hal itu bisa berujung pada ketegangan di masyarakat,” jelasnya.
Karena itu, ia menilai penting adanya standar kepatutan publik dalam perilaku sehari-hari anggota DPR.
“Jika anggota DPR tidak peka terhadap keadaan rakyat, hidup mewah di tengah penderitaan rakyat, apalagi pamer hidup mewah dengan pendapatan perbulan yang fantastik, maka situasi kontras akan mudah memicu publik hingga berujung ketegangan sosial,” jelas Ubedillah.
Baca juga: Demo Buruh 28 Agustus di Gedung DPR, Apa yang Perlu Diketahui?
Ubedillah juga menyoroti tunjangan rumah anggota DPR yang mencapai Rp 50 juta per bulan.
“Angka itu terlalu mewah, terutama di tengah kondisi rakyat yang sulit. Apalagi, kinerja DPR juga masih rendah,” ujarnya.
Ia mencontohkan, pada periode 2019–2024 DPR hanya mampu menghasilkan sekitar 10 persen dari target program legislasi nasional.