KOMPAS.com - Melamun kerap dianggap kegiatan sepele yang bahkan bisa menyenangkan.
Saat menunggu di antrean panjang atau terjebak dalam rutinitas, membiarkan pikiran melayang ke momen liburan terakhir terasa menenangkan.
Penelitian pun menyebut melamun dapat memicu kreativitas dan memberikan ruang bagi otak untuk beristirahat.
Namun, di balik manfaatnya, melamun juga memiliki sisi gelap ketika berubah menjadi maladaptive daydreaming (MD) atau lamunan maladaptif.
Lamunan maladaptif merupakan sebuah kondisi yang berpotensi mengganggu kesehatan mental.
Lantas, bagaimana lamunan menjadi maladaptif dan menjadi salah satu ciri gangguan kesehatan mental?
Baca juga: Ramai soal Lomba Melamun, Bagaimana Dampaknya bagi Otak?
Dilansir dari Cleveland Clinic (6/1/2022), lamunan maladaptif adalah masalah kesehatan mental yang menyebabkan seseorang melamun secara berlebihan, terkadang hingga berjam-jam.
Maladaptif merupakan upaya yang tidak sehat atau negatif untuk mengatasi atau beradaptasi dengan suatu masalah.
Orang yang melakukan ini cenderung "terhanyut" dalam lamunan yang sangat jelas dan detail.
Penelitian juga menunjukkan bahwa lamunan semacam ini mungkin bersifat kompulsif. Artinya, sulit bahkan mustahil untuk mengendalikan diri.
Baca juga: Ramai soal Lomba Melamun, Jinju Academy: Pertama Kali di Indonesia
Sebagaimana diberitakan Psychology Today, Rabu (3/9/2025), sebuah studi terbaru dari Middlesex University yang dilakukan Amy Lucas dan Alexandra Bone (2025) mengungkap bahwa penderita MD bisa menghabiskan hingga 57 persen waktunya untuk melamun, jauh di atas rata-rata orang normal yang hanya sekitar 16 persen.
Dampaknya nyata, mulai dari rasa malu, bersalah, frustrasi, hingga kesulitan menjalani aktivitas sehari-hari.
Masalah utamanya bukan pada isi lamunan, tetapi intensitas serta ketidakmampuan untuk menghentikannya.
Seiring waktu, jurang antara dunia angan-angan dan kenyataan semakin lebar, memicu rasa tidak puas hingga menurunkan harga diri.
Baca juga: Plus Minus Kebiasaan Melamun