KOMPAS.com - Sosok Budi Santoso jarang disebut ketika kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib mencuat.
Munir meninggal setelah diracun arsenik dalam perjalanan menggunakan pesawat dari Jakarta menuju Belanda pada 7 September 2004.
Dalam kasus ini, Budi dikaitkan dengan eks Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) pada 2001-2005 Muchdi Pr dan mantan pilot Garuda Indonesia, Pollycarpus Budihari Priyanto.
Muchdi pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan berencana dan menjalani persidangan.
Namun, ia dinyatakan tidak bersalah dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 31 Desember 2008.
Sementara itu, Polly dijatuhi hukuman 14 tahun penjara karena terbukti melakukan pembunuhan berencana serta memalsukan surat.
Ia kemudian mendapat pembebasan bersyarat pada 2018 sebelum meninggal akibat Covid-19 pada 2020.
Dilansir dari Kompas.com, Minggu (18/10/2020), hakim menyebut bahwa Munir mengalami keracunan setelah menyantap mi goreng yang mengandung arsenik dalam penerbangan Jakarta-Singapura.
Baca juga: Catatan September Hitam Indonesia: Tragedi 1965, Kematian Munir, hingga 17+8 Tuntutan Rakyat
Merujuk pemberitaan Kompas.com, Kamis (6/11/2008), Budi adalah Direktur Perencanaan dan Pengendalian Operasi (Direktur V.1) BIN.
Budi sempat memberikan kesaksian dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dibacakan jaksa di PN Jakarta Selatan, Kamis (6/11/2008).
Menurutnya, kematian Munir adalah hasil kegiatan intelijen, namun direktorat yang dipimpinnya tidak melakukan operasi ini.
Budi mengungkap beberapa bukti yang menunjukkan bahwa kematian Munir adalah hasil kegiatan intelijen.
Pertama, ada surat rekomendasi yang dialamatkan kepada Indra Setiawan selaku Direktur Garuda Indonesia.
Baca juga: Tanda Keracunan Arsenik yang Membunuh Munir di Udara 20 Tahun Lalu
Surat tersebut berisi permintaan supaya Polly diperbantukan pada corporate secretary.
Budi juga menunjukkan bukti lain bahwa Polly dan Muchdi pernah mengadakan pertemuan.