Untuk memahami lebih jauh, para peneliti menyusun model teoretis lamunan maladaptif berdasarkan pengalaman nyata individu yang mengalaminya.
Salah satunya adalah Sarah, perempuan 22 tahun asal Kanada.
Sejak kecil ia terbiasa membandingkan dirinya dengan orang lain, merasa canggung secara sosial, dan menunda pekerjaan penting.
Lamunan baginya menjadi pelarian. Ia membayangkan tubuh ideal, kehidupan sempurna, dan pengakuan dari lingkungan sekitar.
Walau memberi sensasi percaya diri dan motivasi sesaat, fantasi itu justru membuatnya kehilangan kesempatan akademis serta menurunkan harga diri.
Kasus Sarah menegaskan bahwa lamunan maladaptif tidak hanya soal berkhayal berlebihan, tetapi juga bagaimana fantasi itu merusak fungsi kehidupan nyata.
Baca juga: Melihat Lomba Melamun di Korea Selatan yang Diikuti Puluhan Orang
Penelitian soal lamunan maladaptif menunjukkan bahwa melamun bisa jadi istirahat mental yang baik, tapi juga bisa berubah jadi masalah kalau dilakukan berlebihan.
Coba tanyakan pada diri sendiri, apakah lebih suka melamun daripada ngobrol dengan orang lain atau ikut kegiatan?
Atau apakah merasa terganggu kalau lamunan diputus oleh kenyataan?
Baca juga: Video Viral Pengendara Motor Melamun Tabrak Pintu Perlintasan KA di Klaten hingga Patah
Pertanyaan sederhana ini bisa membantu seseorang menilai apakah kebiasaan melamun masih normal atau sudah berlebihan.
Sebenarnya, melamun tetap punya sisi positif. Ia bisa memicu kreativitas dan memberi otak waktu untuk beristirahat, asalkan tidak sampai mengganggu pekerjaan, hubungan dengan orang lain, atau tujuan hidup.
Kuncinya ada pada keseimbangan, gunakan lamunan sebagai inspirasi, bukan pelarian.
Dengan begitu, seseorang bisa mengambil manfaat dari dunia khayalan sekaligus tetap hadir di dunia nyata.
Baca juga: Jangan Salah, Melamun Punya Manfaat Penting bagi Otak
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini