Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M. Eng, CISA, ATD
Dosen STEI ITB & Founder Lembaga Riset Telematika Sharing Vision Indonesia

Dimitri Mahayana adalah pakar teknologi informasi komunikasi/TIK dari Bandung. Lulusan Waseda University, Jepang dan ITB. Mengabdi sebagai Dosen di STEI ITB sejak puluhan tahun silam. Juga, meneliti dan berbagi visi dunia TIK kepada ribuan profesional TIK dari ratusan BUMN dan Swasta sejak hampir 20 tahun lalu.

Bisa dihubungi di dmahayana@stei.itb.ac.id atau info@sharingvision.com

Workslop, Output Semenjana AI, dan Sampah Digital

Kompas.com - 07/10/2025, 14:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SURVEI Sharing Vision 2025 menunjukkan bahwa 69,8 persen responden di Indonesia memandang AI (Akal Imitasi) sebagai pendorong percepatan tugas rutin. Ini pandangan yang dapat menginspirasi bagi bangsa muda seperti kita.

Namun, laporan Stanford AI Index 2025 mengingatkan, di balik lonjakan adopsi AI (dengan investasi global mencapai 252,3 miliar dollar AS pada 2024), ada risiko seperti overfitting dan output berkualitas rendah yang dapat mengurangi produktivitas.

AI memang memantik kegairahan intelektual dan selalu menghangatkan semangat kritik. Immanuel Kant menggoncang dunia pasca-Aufklarung dengan Kritik pada Akal Murni (Kritik der reinen Vernunft).

Ia demikian cermat mencoba mencari batas-batas epistemik pengetahuan yang masih bisa dipahami rasio manusia.

Tradisi kritik intelektual Kant ini masih hidup hingga kini. Kali ini, dunia diguncang dengan narasi Singularity AI.

Apa itu singularity AI? Suatu kondisi, yang menurut Ray Kurzweil, di mana AI menjadi lebih cerdas dari Einstein dan umumnya seluruh umat manusia.

Maka berduyun-duyun pemikir dan filsuf seperti John Searle (yang wafat September 2025), Harry Frankfurt, Noam Chomsky, hingga Mira Murati (mantan CTO dan CEO sementara OpenAI) melancarkan berbagai kritik terhadap “akal imitasi murni”—sebuah gerakan intelektual yang mempertanyakan apakah AI benar-benar memahami, atau sekadar meniru kecerdasan manusia.

Baca juga: Bolehkah AI Mencalonkan Diri dalam Pilpres 2029?

Di antara kritik terkini adalah workslop. Apa itu workslop? Yaitu konten kerja yang dihasilkan AI, tampak menarik dan efisien di luar, tetapi kurang mendalam, mirip dengan bangunan indah tanpa fondasi yang kuat.

Istilah ini muncul dari penelitian Stanford Social Media Lab dan BetterUp Labs, yang menggambarkan gelombang dokumen, email, serta laporan yang tampak "cukup baik", tapi kurang mampu mendorong kemajuan sejati, justru menumpuk sebagai limbah digital di ruang kerja kita.

Bayangkan situasi di mana seorang rekan menyajikan laporan analisis pasar dengan bangga, tapi ternyata isinya penuh dengan data yang tidak akurat atau ungkapan umum yang kurang berguna.

Persoalan workslop bukan hanya soal efisiensi yang terganggu; ini mencerminkan tantangan bagi potensi kita sebagai manusia. Workslop tidak lain adalah output semenjana. Bahasa lainnya adalah sampah digital.

Sahabat kami dalam grup diskusi Filsafat Way Of Life yang kami ampu, Doktor Budi Sulistyo, telah meramalkan merebaknya sampah digital atau workslop ini sejak awal mula booming LLM pada 2023 lalu.

Beliau berpendapat, ketika sampah digital ini terus-menerus diumpankan kembali ke berbagai AI, hasilnya hanyalah sampah digital dalam level yang lebih tinggi—dan siklus ini akan berulang tanpa henti.

Penulis pribadi sangat tertarik untuk mendalami bidang ini, bahkan mencoba memodelkannya secara matematis dengan teori ketidakstabilan dari AM. Lyapunov, bidang yang saya dan Kelompok Keahlian Kendali dan Komputer di STEI ITB tekuni.

Menariknya, ketika isu tentang output semenjana, sampah digital, atau workslop ini masih menjadi bagian dari agenda peta jalan penelitian kami, justru Stanford dan Harvard—dua think tank global terkemuka dari Amerika Serikat—sudah lebih dulu merilis hasil penelitian yang amat mengejutkan.

Workslop di balik layar

Fenomena workslop bukanlah cerita fiksi dystopia; ia sudah menjadi bagian dari rutinitas kantor kita.

Seperti yang dijelaskan dalam suatu artikel yang dimuat di Australian Financial Review, workslop timbul ketika AI menghasilkan konten yang tampak seperti hasil kerja berkualitas, tetapi sering memerlukan perbaikan ulang.

Di lingkungan kerja, hal ini berarti tim yang mengandalkan alat seperti ChatGPT untuk menyusun proposal, membuat presentasi, sering kali hanya menghasilkan dokumen yang memadai, tapi jauh dari istimewa, bahkan hasil semacam ini sering memaksa rekan kerja atau manajer untuk membongkar kembali asumsi yang salah atau bahkan menyusun ulang pekerjaan dari awal.

Baca juga: Welcome GPT-5: Penciptanya Malah Bertanya, Apa yang Sudah Kita Lakukan?

Meskipun penggunaan AI di tempat kerja telah berlipat ganda sejak 2023, Laporan dari MIT Media Lab menyoroti bahwa 95 persen organisasi belum melihat pengembalian investasi (ROI) yang nyata.

Alasannya? Workslop ini dapat mengganggu produktivitas—bukan dengan memperlambat proses, melainkan dengan menciptakan kesan kemajuan yang semu.

Dampaknya terasa jelas: berdasarkan survei McKinsey (2023), 65 persen organisasi secara rutin menggunakan GenAI untuk pekerjaan seperti menyusun memo atau merangkum data.

Namun, alih-alih mempercepat efisiensi, keluaran AI yang sering generik dan dangkal justru menimbulkan ‘AI fatigue’—kelelahan kolektif ketika tim harus berhadapan dengan arus konten repetitif yang terasa low-effort.

Di Indonesia, survei Sharing Vision 2025 (Mei-Juni 2025, melibatkan 5.755 responden) mengungkap optimisme yang tinggi: 84 persen pengguna mengandalkan model bahasa besar seperti ChatGPT, dengan 58,4 persen merasakan peningkatan efisiensi kerja, 61,5 persen melihat AI membantu dalam menemukan ide saat buntu, dan 51,3 persen menghemat waktu dalam pengambilan keputusan.

Namun, sisi gelapnya adalah lebih dari 5 persen netizen menggunakan AI lebih dari 4 jam sehari. Hal ini berpotensi melemahkan pemikiran kritis dan kemampuan problem solving, sebagaimana terlihat dalam hasil survei yang diselenggarakan oleh Hong Kong Academy for Gifted Education, yang relevan dengan konteks kita.

Halaman Berikutnya
Halaman:


Terkini Lainnya
Balita di China Meninggal Tersedak Boba Saat Bermain Trampolin
Balita di China Meninggal Tersedak Boba Saat Bermain Trampolin
Tren
Puasa Ayyamul Bidh November 2025 Mulai Besok, Ini Jadwal Lengkap dengan Niat dan Keutamaannya
Puasa Ayyamul Bidh November 2025 Mulai Besok, Ini Jadwal Lengkap dengan Niat dan Keutamaannya
Tren
Daftar 25 Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama 2026, Ada 5 Long Weekend
Daftar 25 Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama 2026, Ada 5 Long Weekend
Tren
Anak Kembar Identik Tenyata Tak Punya IQ Sama, Ini Penjelasan Studi
Anak Kembar Identik Tenyata Tak Punya IQ Sama, Ini Penjelasan Studi
Tren
7 Fakta di Balik Vidi Aldiano Hiatus, Rehat Perdana sejak 2014 dan Siapkan Album Baru
7 Fakta di Balik Vidi Aldiano Hiatus, Rehat Perdana sejak 2014 dan Siapkan Album Baru
Tren
Dark Jokes Ternyata Cermin Kecerdasan dan Ketenangan Emosi, Ini Penjelasan Ilmuwan
Dark Jokes Ternyata Cermin Kecerdasan dan Ketenangan Emosi, Ini Penjelasan Ilmuwan
Tren
PB XIII Mangkat: Ini Rute Kirab, Aturan bagi Pelayat, dan Makna Pemakaman di Imogiri
PB XIII Mangkat: Ini Rute Kirab, Aturan bagi Pelayat, dan Makna Pemakaman di Imogiri
Tren
10 Negara Paling Menyatu dengan Alam, Ada Indonesia?
10 Negara Paling Menyatu dengan Alam, Ada Indonesia?
Tren
Ramai soal Peserta TKA Bisa Live TikTok Saat Ujian, Ini Penjelasan Kemendikdasmen
Ramai soal Peserta TKA Bisa Live TikTok Saat Ujian, Ini Penjelasan Kemendikdasmen
Tren
Beli Tiket Kereta Lokal tapi Tak Dapat Kursi, Bolehkah Duduk di 1A/B dan 24A/B?
Beli Tiket Kereta Lokal tapi Tak Dapat Kursi, Bolehkah Duduk di 1A/B dan 24A/B?
Tren
10 Karakter Seseorang yang Tersirat dari Caranya Memesan Kopi
10 Karakter Seseorang yang Tersirat dari Caranya Memesan Kopi
Tren
Kisah Bayi '7-Eleven' yang Lahir pada 7/11 Pukul 7.11 Malam, Berat 7 Pon 11 Ons, dan Dapat Dana Kuliah 7.111 Dollar AS
Kisah Bayi "7-Eleven" yang Lahir pada 7/11 Pukul 7.11 Malam, Berat 7 Pon 11 Ons, dan Dapat Dana Kuliah 7.111 Dollar AS
Tren
Setelah Gelar Pangeran Dicabut, Raja Charles III Kini Berupaya Hapus Gelar Militer Terakhir Andrew
Setelah Gelar Pangeran Dicabut, Raja Charles III Kini Berupaya Hapus Gelar Militer Terakhir Andrew
Tren
Ilmuwan Temukan Medan Magnet Bumi Pernah Kacau 500 Juta Tahun Lalu, Apa yang Terjadi?
Ilmuwan Temukan Medan Magnet Bumi Pernah Kacau 500 Juta Tahun Lalu, Apa yang Terjadi?
Tren
Ada Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach, Ini Alasan 5 Anggota DPR Nonaktif Dilaporkan ke MKD
Ada Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach, Ini Alasan 5 Anggota DPR Nonaktif Dilaporkan ke MKD
Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau