DI NEGARA negara tropis yang kaya akan keragaman genetik dan cahaya matahari, warna kulit terang masih menjadi standar kecantikan yang dominan.
Bukan karena mutasi genetik atau adaptasi ekologis, tapi karena konstruksi sosial yang diam-diam mengubah warna kulit menjadi indikator status. Seolah semakin terang kulit seseorang, semakin “layak dipandang”, dihargai, bahkan dianggap sukses.
Sebagai praktisi kesehatan, saya sering melihat bagaimana standar kecantikan ini tidak lagi berdiri pada ranah estetika, tetapi telah menyusup ke ranah kesehatan mental dan pilihan gaya hidup.
Pasien muda datang tidak hanya dengan jerawat atau hiperpigmentasi, tapi dengan rasa malu atas kulit mereka sendiri.
Sebagian orang bahkan secara obsesif menggunakan krim pemutih yang tak terdaftar, mengandung hidrokuinon atau merkuri yang secara klinis terbukti merusak ginjal dan sistem saraf.
Ini bukan sekedar masalah kosmetik. Ini epidemi sosial.
Penelitian antropologi telah lama menunjukkan bahwa kolonialisme tidak hanya mewariskan sistem ekonomi yang timpang, tapi juga preferensi estetika yang menjajah cara kita memandang tubuh sendiri.
Baca juga: Vasektomi: Stigma Gender dan Politik Otonomi Tubuh
Di banyak negara Asia, termasuk Indonesia, kulit terang diasosiasikan dengan kelas atas, pekerjaan dalam ruangan, dan status sosial.
Sementara kulit sawo matang, atau lebih gelap, dikaitkan dengan kerja lapangan, kemiskinan, dan “tidak terurus.”
Padahal, kalau kita bicara biologi, kulit orang Indonesia sangatlah adaptif. Melanin yang lebih tinggi bukan hanya memberi warna sawo matang yang khas, tapi juga merupakan proteksi alami terhadap paparan ultraviolet yang ekstrem di garis khatulistiwa.
Dalam bahasa medis, ini adalah evolutionary advantage, bukan kekurangan. Mengapa keunggulan biologis ini kita sembunyikan?
Tak bisa dipungkiri, industri kecantikan ikut berperan dalam mengamplifikasi standar ini. Sebagian besar iklan di televisi, media sosial, hingga skin analysis apps secara halus mengasumsikan bahwa cerah adalah lebih baik.
Kulit yang “bersih” bukan diukur dari kesehatannya, tetapi dari warnanya.
Dalam dunia medis, kulit dinilai berdasarkan parameter klinis seperti tingkat hidrasi, elastisitas, dan ada tidaknya kelainan seperti dermatitis, infeksi, atau tanda gangguan sistemik.
Di luar ruang praktik, penilaian kulit kerap bergeser dari aspek kesehatan menjadi soal persepsi visual, semakin jauh dari warna coklat alaminya, semakin dianggap ideal.