DI RUANG Kantor PCO Jakarta Pusat, Selasa(3/6/2025), Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi berbicara dengan nada yakin soal penurunan angka pengangguran.
“Menurut data dari BPS terbaru, angka pengangguran terbuka justru turun. Bulan ini, angka pengangguran terbuka turun dari 4,82 persen ke 4,76 persen,” ucapnya. (Kompas.com, 3 Juni 2025).
Sebuah pengumuman yang, sekilas, seolah membawa kabar baik: pengangguran turun, pekerjaan bertambah, ekonomi menggeliat.
Namun, angka-angka selalu punya cerita tersembunyi. Di balik persentase yang mengecil itu, terselip ironi yang tak disebutkan: jumlah pengangguran justru bertambah 83.000 orang, naik menjadi 7,28 juta jiwa (BPS, Februari 2025).
Ini bukan paradoks matematis, tapi gejala struktural: angkatan kerja kita bertambah 3,67 juta orang, tapi hanya 3,59 juta yang terserap. Sisanya, 83.000 itu, mengapung di antara statistik.
Baca juga: Optimisme dari Luka: Paradoks Harapan dan Kecemasan Rakyat Indonesia
Tak terhitung dalam narasi keberhasilan, tetapi nyata dalam antrean panjang bursa kerja, dalam cemas para orang tua yang menunggu kabar panggilan dari pabrik-pabrik yang mengecil.
Statistik pengangguran, seperti bayangan di dinding, kadang menipu mata. Indonesia boleh saja mengklaim TPT di 4,76 persen, tetapi di mata Dana Moneter Internasional (IMF), Indonesia duduk di peringkat kedua tertinggi di Asia dengan 5,2 persen per April 2024: hanya kalah dari Mongolia, dan jauh lebih buruk dibanding Thailand (1,1 persen), Vietnam (2,1 persen), Malaysia (3,5 persen), atau Singapura (1,9 persen) (IMF World Economic Outlook, 2024).
Hasan Nasbi menenangkan: “Kita optimistis. Lapangan kerja bertambah, stimulus telah diberikan, daya beli meningkat”.
Namun, di mana letak optimisme jika buruh-buruh tekstil di Majalengka dan Subang dirumahkan karena pabrik mengejar efisiensi?
Jika di kawasan industri Cikarang, ribuan pekerja kontrak tak diperpanjang karena pasar ekspor lesu?
Jika generasi muda kita, lulusan SMA dan perguruan tinggi, masuk dalam kategori overqualified, underemployed, sekadar menjadi barista atau kurir online demi sekeping penghasilan yang tak cukup membayar sewa kos di pinggiran Jakarta?
Di negara lain, respons terhadap pengangguran tidak hanya berhenti pada angka.
Jerman, misalnya, menghadapi disrupsi industri dengan memperkuat apprenticeship system, menghubungkan sekolah dan pabrik, menciptakan tenaga kerja yang relevan dengan kebutuhan pasar.
Baca juga: Awal Tenggelamnya Reformasi Birokrasi: Rusaknya Sistem Merit
Singapura, negeri kecil yang rapuh pada guncangan global, menggelontorkan program SkillsFuture, subsidi pelatihan ulang bagi semua warga. Karena mereka paham: masa depan bukan milik mereka yang bertahan, tetapi mereka yang belajar ulang.
Di Indonesia, kita masih sibuk merayakan penurunan 0,06 persen tanpa menggali pertanyaan yang lebih penting: mengapa investasi yang masuk lebih banyak menciptakan pekerjaan informal?