
DALAM acara Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri (PPTM) pada 10 Januari lalu, Menlu Sugiono menegaskan, diplomasi Indonesia dilaksanakan berlandaskan Pancasila, dengan Asta Cita sebagai panduan strategis.
Sepertinya baru kali ini seorang Menlu secara tegas dan eksplisit menyatakan bahwa Pancasila dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaan diplomasi. Sikap politik yang layak diapresiasi.
Bahwa Asta Cita - visi capres Prabowo dalam kampanye Pilpres 2024 - dijadikan panduan strategis, itu adalah keniscayaan. Sebab di dalam Asta Cita “memperkokoh ideologi Pancasila” menjadi prioritas pertama.
Alur logikanya jelas: karena prioritas pertama Asta Cita adalah memperkokoh Pancasila, maka kebijakan luar negeri dan diplomasi harus mempedomani nilai-nilai Pancasila.
Justru yang kemudian menjadi pertanyaan: bagaimana memahami Pancasila sebagai dasar dan pedoman diplomasi, baik dalam tataran nilai dan kebijakan maupun dalam praksisnya?
Di dalam Undang-Undang No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pancasila dimaknai dalam tiga dimensi: sebagai falsafah, dasar dan ideologi negara.
Sebagai falsafah, Pancasila adalah pandangan hidup bangsa Indonesia yang berisi nilai luhur dan dijadikan pedoman dalam hal sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam prikehidupan sehari-hari.
Sebagai dasar negara, Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum dalam penyusunan kebijakan penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sedangkan sebagai ideologi negara, Pancasila dimaknai sebagai sekumpulan nilai, gagasan, keyakinan, dan cita-cita yang menjadi arah dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Manakala Menlu Sugiono menegaskan Pancasila sebagai landasan diplomasi, serta merta muncul pertanyaan: seberapa pentingkah ideologi dalam diplomasi dan kebijakan luar negeri?
Dalam perspektif ideologi sebagai seperangkat ide, gagasan dan cita-cita, Pancasila harus menjadi inspirasi semua langkah diplomasi dan kebijakan luar negeri dalam memperjuangkan kepentingan nasional.
Diplomasi mengikuti sabda ideologi. Manakala Menlu Sugiono menyatakan diplomasi Indonesia berlandaskan Pancasila, itu artinya nilai Pancasila harus menjadi “bintang penuntun” dalam penetapan kebijakan luar negeri.
Tatkala nilai Pancasila direfleksikan ke dalam langkah diplomasi dan kebijakan luar negeri, itu artinya Kemlu “mem-Pancasilakan diplomasi”.
Namun, bagaimana benar wujudnya jika Pancasila direflkesikan ke dalam diplomasi dan kebijakan luar negeri?
Terkait relasi fungsional antara ideologi dan kebijakan luar negeri, pakar hubungan internasional memetakan fungsi ideologi dalam dua lanskap utama: pertama, sebagai “pedoman nilai” untuk memaknai dan mengukur setiap fenomena politik internasional. Kedua, sebagai “instrumen” untuk melakukan tindakan politik terhadap fenomena itu (Sylvan & Majeski, Ideology and Intervention, 2008).