BARU-baru ini, gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menggema di Mahkamah Konstitusi (MK), yang diprakarsai empat mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Mereka menguji Pasal 23 huruf c dari UU tersebut, yang mengatur mengenai larangan rangkap jabatan menteri.
Pasal tersebut berbunyi "menteri dilarang rangkap jabatan sebagai pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah".
Para pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan Pasal 23 huruf c bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup pula pengurus (fungsionaris) partai politik.
Jadi, mereka ingin menteri dilarang rangkap jabatan sebagai pengurus partai.
Gugatan ini diajukan karena mereka menilai bahwa praktik rangkap jabatan tidak hanya merusak mekanisme check and balances antara lembaga eksekutif dan legislatif, tetapi juga mendorong pragmatisme partai politik yang berpotensi merusak integritas demokrasi Indonesia.
Menurut mereka, pengurus partai yang menjabat sebagai menteri berpotensi menodai fungsi dan peran partai politik sebagai lembaga yang harus menghormati konstitusi.
Namun, apakah gugatan ini benar-benar beralasan dari perspektif konstitusional dan demokrasi? Mari kita telaah lebih lanjut.
Baca juga: Mencopot Wakil Presiden Gibran Rakabuming: Antara Mandat Rakyat vs Konsensus Elite
Penting untuk memahami bahwa Pasal 23 huruf c dari UU Nomor 39 Tahun 2008 tidak secara eksplisit melarang pengurus partai politik untuk menjabat sebagai menteri.
Keberadaan ketentuan tersebut memberikan ruang interpretasi cukup luas, yang memungkinkan praktik rangkap jabatan jika tidak ada benturan kepentingan yang jelas antara fungsi eksekutif dan peran partai politik.
Dengan demikian, sulit untuk menyatakan bahwa rangkap jabatan secara otomatis bertentangan dengan UUD 1945. Mengingat konstitusi Indonesia tidak secara tegas melarang hal ini, maka tidak ada alasan konstitusional yang kuat untuk menggugat praktik tersebut.
Salah satu aspek yang sering terlupakan dalam perdebatan ini adalah prinsip keterwakilan politik. Partai politik adalah entitas yang dipilih oleh rakyat untuk menjadi jembatan antara aspirasi masyarakat dan kebijakan pemerintah.
Dengan demikian, keterlibatan pengurus partai dalam kabinet merupakan wujud dari representasi politik yang sah.
Mewakili partai dalam struktur pemerintahan bukanlah tindakan yang bertentangan dengan prinsip demokrasi, melainkan pengakuan terhadap peran penting partai politik dalam menyuarakan kepentingan rakyat.
Sebagai pengurus partai yang dipercaya oleh konstituen, keberadaan mereka dalam kabinet memastikan kebijakan pemerintah tetap relevan dengan aspirasi masyarakat yang lebih luas.