DI TENGAH musim pancaroba, demokrasi lokal kita terasa seperti jalan licin yang mudah tergelincir oleh uang dan kekuasaan.
Pemungutan suara ulang (PSU), yang seharusnya menjadi solusi atas sengketa Pilkada, kini justru berubah menjadi panggung kedua bagi kekacauan yang sama.
Kasus di Kabupaten Serang adalah contoh paling terang. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan PSU karena terbukti terjadi praktik politik uang. Namun, pemungutan suara ulang ini justru kembali diwarnai praktik serupa.
Terbaru, Bawaslu bahkan menemukan dugaan politik uang jelang dan saat pelaksanaan PSU, dengan barang bukti uang tunai dan 12 orang yang telah diperiksa (Kompas, 21/04/2025).
Lantas, apa gunanya demokrasi diulang kalau penyakitnya juga turut berulang?
Masalah ini bukan sekadar soal etika, tetapi juga soal akal sehat. Anggaran yang dikeluarkan dalam Pilkada sebelumnya sudah besar. Kini PSU justru jauh lebih mahal.
Ironisnya, semua itu terasa sia-sia jika elite politik tetap menggunakan cara-cara curang dan hukum tidak mampu memberi efek jera. Ujung-ujungnya, rakyatlah yang paling dirugikan.
Baca juga: Mencopot Wakil Presiden Gibran Rakabuming: Antara Mandat Rakyat vs Konsensus Elite
Mereka dipaksa memilih ulang dengan pilihan yang sama dan catatan pelanggaran yang tidak berubah.
Kita sedang menghadapi kebuntuan demokrasi. Seolah-olah kita bergerak, padahal hanya berputar di tempat.
PSU seharusnya menjadi koreksi atas pelanggaran. Namun, jika dalam koreksi itu pelanggaran kembali terjadi, siapa yang sebenarnya memperbaiki siapa?
MK membuka kemungkinan bahwa jika pelanggaran serupa kembali terbukti, maka PSU bisa dilakukan lagi.
Aturan soal pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) atau yang memengaruhi hasil pemilu memungkinkan gugatan baru.
Artinya, bukan tidak mungkin kita akan menyaksikan pemilu ulang dari pemilu ulang. Situasi yang absurd. Seperti menonton film jelek yang diputar ulang, tapi tiketnya dibayar mahal pakai uang rakyat.
Yang lebih memusingkan, bagaimana jika pasangan calon yang menggugat juga terbukti melakukan pelanggaran yang sama? Apakah kedua pasangan calon akan dicoret?
Siapa yang akan menggantikan mereka? Atau kita akan menyaksikan pemilu ulang tanpa pilihan?
Baca juga: Mundurnya Hasan Nasbi dan Pelajaran Penting Komunikasi Pemerintahan