DUNIA maya kembali dihebohkan unggahan mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang memuat meme satir terhadap presiden.
Meme tersebut menggambarkan presiden dalam situasi yang dinilai tidak etis, bahkan oleh sebagian pihak dianggap menghina simbol negara.
Tak berselang lama, unggahan itu viral, menarik atensi publik, media, dan yang paling mencengangkan memicu laporan ke pihak berwajib.
Pertanyaannya, apakah meme semacam itu benar-benar bentuk kejahatan? Ataukah justru manifestasi paling jujur dari kekecewaan warga negara terhadap pemimpinnya?
Secara yuridis, kita perlu terlebih dahulu membedakan antara "kritik", "satir", dan "penghinaan". Ketiganya sering kali tumpang tindih dalam tafsir publik, tapi masing-masing memiliki posisi berbeda dalam sistem hukum Indonesia.
Meme yang diunggah mahasiswa ITB dapat dikategorikan sebagai bentuk satir politik. Dalam kamus Cambridge, satire berarti “a way of criticizing people or ideas in a humorous way, or a piece of writing or play that uses this style.”
Dalam banyak tradisi demokrasi, satire dilindungi sebagai bagian dari kebebasan berekspresi.
Baca juga: Babak Baru Kasus Mahasiswi ITB, Minta Maaf dan Penahanan Ditangguhkan
Namun, di Indonesia, payung hukum yang digunakan untuk menindak ekspresi semacam ini kerap menggunakan pasal-pasal karet.
UU ITE, khususnya Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2), kerap dijadikan senjata untuk membungkam suara-suara kritis, dengan dalih menjaga ketertiban atau mencegah ujaran kebencian.
Yang menjadi masalah bukanlah keberadaan hukum, melainkan elastisitasnya. Pasal-pasal ini bisa mengakomodasi banyak tafsir, tergantung siapa yang membacanya.
Dalam kasus meme mahasiswa ITB, pengunggahan tersebut segera dihubungkan dengan dugaan penghinaan terhadap presiden. Padahal Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 013-022/PUU-IV/2006 telah menyatakan bahwa penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden tidak lagi merupakan delik pidana.
Sayangnya, aparat sering kali mengabaikan norma konstitusi ini dan lebih memilih tafsir sempit melalui pasal-pasal pidana.
Akibatnya, publik dicekam ketakutan berekspresi. Fenomena ini bahkan dikenal dalam kajian hukum kebebasan sipil sebagai “chilling effect” di mana warga negara memilih diam karena takut pada represi hukum.
Pertanyaan mendasar adalah: mengapa negara lewat aparaturnya begitu cepat bereaksi terhadap kritik, bahkan dalam bentuk meme?
Apakah negara hari ini sedang mengalami "krisis legitimasi", sehingga kekuasaan merasa perlu untuk terus-menerus menegakkan wibawa melalui hukum, alih-alih menjawab substansi dari kritik?