
KITA hidup di zaman di mana pemuda bisa terbang setinggi apa pun, tapi arah terbangnya sulit ditebak. Mereka punya sayap, tapi kehilangan kompas. Logo Sumpah Pemuda 2025, dengan sayap Garuda, panah ke kanan, gerak melingkar, besi, dan cahaya di tengah, seolah menjadi ironi visual bagi generasi yang sedang melayang di langit tanpa peta nilai.
Pemuda, dalam pengertian formal, adalah mereka yang berusia antara 16 hingga 30 tahun menurut hukum Indonesia, atau 15 hingga 24 tahun menurut PBB. Tapi definisi umur itu kini terasa dangkal. Yang kita hadapi hari ini bukan sekadar soal usia biologis, melainkan tentang kedewasaan sosial yang tak kunjung tumbuh.
Pemuda saat ini hidup dalam masa transisi yang kabur — bukan lagi kanak-kanak, tapi juga belum dewasa. Mereka berpikir cepat, beraksi cepat, namun jarang berhenti untuk memahami. Dunia memberi mereka kecepatan, tapi tidak kedalaman.
Logo Sumpah Pemuda 2025 dengan sayap Garuda yang terentang melambangkan kekuatan luhur yang terbang karena nilai, bukan kuasa. Tapi pemuda kini lebih sering terbang karena trending topic, bukan cita-cita. Sayap mereka digerakkan oleh algoritma, bukan idealisme. Empat sayap yang membentuk tangan — simbol kolaborasi antar manusia — kini menjadi satir terhadap realitas sosial mereka. Pemuda hari ini terkoneksi ke jutaan orang, tapi sulit benar-benar terhubung dengan siapa pun. Jaringan luas, tapi empati dangkal.
Dalam bahasa Bourdieu (1977), modal sosial mereka besar — jaringan, komunitas, koneksi — tapi tidak berakar pada kepercayaan. Relasi sosial mereka cair, transaksional, mudah terbentuk, dan mudah pula ditinggalkan. Mereka membangun hubungan seperti menggulir layar. Panah ke kanan dalam logo itu melambangkan progresivitas — keberanian menembus masa depan. Namun generasi ini justru sering terjebak dalam lingkaran narsisme digital: sibuk memoles citra, lupa arah substansi. Bergerak maju, tapi tidak tahu untuk apa.
Gerak melingkar dalam logo menandai kolaborasi tanpa ujung, tapi kehidupan pemuda justru berputar di lingkaran simbolik yang hampa. Mereka berteriak “kolaborasi” tapi beroperasi dalam ego yang dibungkus solidaritas palsu.
Besi yang ditempa melambangkan keteguhan. Tapi keteguhan adalah barang langka hari ini. Habitus mereka dibentuk oleh kenyamanan, bukan tempaan. Mereka lahir dalam dunia yang menghapus kesulitan, menggantinya dengan kecepatan dan kemudahan instan. Dan cahaya di tengah — kesadaran kolektif — kini meredup. Ia tenggelam di antara lampu-lampu notifikasi. Cahaya refleksi kalah terang dari sorot layar.
Jika kita membaca logo itu secara sosiologis, kita akan menemukan paradoks. Lambang semangat kebangsaan justru memantulkan krisis kesadaran generasi muda: mereka berani terbang, tapi tak tahu dari mana mereka berangkat dan untuk apa mereka kembali.
Baca juga: Bahasa Portugis di Bulan Bahasa, di Tengah Sumpah Pemuda
Bourdieu (1977) memberi kita dua kunci penting: habitus dan modal sosial. Dua konsep ini menjelaskan kenapa pemuda hari ini tampak bebas, tapi sebenarnya terbelenggu oleh struktur sosial yang tak mereka sadari.
Habitus adalah pola kebiasaan sosial yang terinternalisasi — cara berpikir dan bertindak yang dibentuk sejak kecil oleh keluarga, sekolah, dan media. Generasi kini tumbuh dalam habitus digital: terbiasa serba cepat, serba instan, dan serba tampak. Mereka belajar dari influencer, bukan dari guru; mencari validasi dari jumlah “like”, bukan dari kedalaman makna. Habitus mereka adalah habitus performatif: hidup untuk ditonton, bukan untuk dijalani.
Bourdieu (1977) menyebut habitus itu stabil dan tak sadar. Itulah sebabnya, banyak pemuda tidak sadar bahwa gaya hidup “bebas” mereka sebenarnya adalah bentuk ketundukan pada logika pasar dan algoritma. Mereka merasa otonom, padahal sedang dikendalikan.
Di sisi lain, modal sosial — jaringan, koneksi, dan komunitas — kini juga mengalami pergeseran makna. Modal sosial yang seharusnya memperkuat solidaritas, kini menjadi alat negosiasi untuk kepentingan pribadi: akses kerja, posisi, atau pengaruh. Gotong royong yang dulu menjadi habitus bangsa, kini tergantikan oleh kolaborasi pragmatis: “kita kerja bareng selama ada manfaat.” Empati bergeser jadi strategi, kepedulian berubah jadi konten.
Pemuda hari ini memiliki semua bentuk modal — ekonomi, budaya, sosial — kecuali satu: modal moral. Mereka kaya koneksi, miskin arah. Kaya pengetahuan, miskin kebijaksanaan.
Baca juga: 28 Oktober Diperingati Sebagai Apa? Ini Sejarah Lengkap Sumpah Pemuda 1928
Di titik ini, pendidikan seharusnya hadir sebagai penyeimbang. Tapi sistem pendidikan kita malah memperkuat struktur yang melahirkan kebingungan ini. Sekolah mengajarkan kompetisi, bukan kolaborasi; ranking, bukan refleksi. Kita menilai anak dari nilai ujian, bukan dari nilai hidup. Kita menilai guru dari administrasi, bukan dari integritas. Akibatnya, habitus moral tidak pernah terbentuk; yang tumbuh adalah habitus kompetitif tanpa arah.
Dalam bahasa Bourdieu (1977), sistem seperti ini menciptakan kekerasan simbolik: kekuasaan yang bekerja diam-diam lewat bahasa, ujian, sertifikat, dan gelar. Pendidikan membentuk generasi yang patuh pada sistem, tapi asing terhadap makna. Akibatnya, banyak pemuda tumbuh menjadi individu yang pandai, tapi rapuh. Mereka bisa bicara visi besar, tapi mudah goyah oleh kegagalan kecil. Mereka bisa menulis manifesto, tapi sulit menepati janji pada diri sendiri.