KEBERADAAN tulisan besar "Welcome to Batam" di Dataran Engku Putri tidak hanya menjadi ikon Kota Batam, tetapi juga simbol identitas kota yang kaya sejarah, modernitas, dan potensi wisata.
Namun, baru-baru ini, ikon ini menghadapi ancaman serius: keberadaannya tertutupi proyek-proyek komersial yang dikelola pihak swasta dengan izin dari Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengusahaan (BP) Batam.
Langkah ini tidak hanya mencederai estetika kota, tetapi juga mencerminkan kegagalan tata kelola pembangunan yang ahistoris, tidak berpihak pada lingkungan, estetika, sejarah kota dan kepentingan masyarakat (inklusif).
Langkah pemerintah yang mengizinkan proyek ini patut dipertanyakan. Terlalu sering kita menyaksikan pendekatan pembangunan di Batam yang lebih menganut mazhab kapitalisme tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan maupun kepentingan publik.
Kebijakan yang lebih memihak investasi daripada warisan budaya dan simbol publik menunjukkan pembangunan yang ahistoris, hanya memikirkan keuntungan jangka pendek, dan mengabaikan nilai-nilai yang membentuk identitas Kota Batam yang bermimpi menjadi Bandar Dunia Madani.
Sebagai kota urban industri dan bercita-cita menjadi destinasi wisata kelas dunia, Batam membutuhkan kebijakan pembangunan yang selaras dengan visi tersebut.
Ikon "Welcome to Batam" selama ini telah menjadi daya tarik wisata yang melengkapi potensi pariwisata lain seperti pantai, kuliner, dan belanja.
Hilangnya nilai estetika dan fungsi landmark ini akan mengurangi daya tarik wisata kota. Apalagi, menutupi landmark ini dengan bangunan komersial tidak hanya mencerminkan kurangnya perencanaan yang matang, tetapi juga minimnya empati terhadap aspek tata ruang, publik dan etika lingkungan (enviromental ethics).
Selain itu, langkah ini juga menunjukkan ketidakkonsistenan visi pemerintah dalam merancang kota sebagai ruang hidup berkelanjutan.
Tidak ada ruang bagi simbol-simbol sejarah lokal jika terus-menerus dikorbankan demi kepentingan kapitalitik (investasi).
Hal ini mencerminkan pembangunan kehilangan arah, hanya fokus pada aspek ekonomi, tetapi mengabaikan sosial budaya dan ekologis.
Keberlanjutan pembangunan tidak hanya diukur dari jumlah gedung baru, jalan yang semakin lebar, tetapi juga dari kemampuan kita menjaga ruang publik dan warisan budaya yang memberikan makna pada kota.
Jane Jacobs, penulis dan aktivis perkotaan, pernah menekankan: "Kota yang sehat bukan sekadar tumpukan infrastruktur atau gedung pencakar langit, tetapi kota yang hidup dari ruang-ruang publiknya yang memberikan makna, interaksi, dan keberlanjutan sosial.
Menyelamatkan "Welcome to Batam" berarti menyelamatkan wajah dan jiwa Kota Batam. Pemerintah perlu mengkaji ulang kebijakan izin pembangunan komersial di kawasan strategis ini.
Langkah konkret yang harus segera diambil adalah mempertahankan landmark ini sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas kota Batam.