Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rikson Pandapotan Tampubolon
Dosen

Dosen; Direktur Eksekutif Batam Labor and Public Policies; Konsultan; Pengamat Kebijakan Publik

Menguak Wajah Suram Pembangunan Investasi di Pulau Rempang

Kompas.com - 19/12/2024, 12:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KEKERASAN kembali lagi mencoreng Proyek Strategis Nasional (PSN) Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

Rabu dini hari (18/12/24), posko warga menjadi sasaran serangan brutal, diduga oleh kelompok yang terkait dengan perusahaan.

Tidak cukup dengan menggusur warga demi proyek Rempang Eco City, kini intimidasi berubah menjadi aksi kekerasan yang meninggalkan delapan korban, melengkapi ironi pembangunan yang katanya membawa kesejahteraan.

Apakah ini harga yang harus dibayar untuk ambisi investasi?

Pembangunan PSN Pulau Rempang yang digadang-gadang sebagai proyek unggulan untuk meningkatkan daya saing Indonesia di kancah internasional justru berubah menjadi konflik berdarah yang melibatkan masyarakat adat, pemerintah, dan investor.

Baca juga: PT MEG Klarifikasi Penyerangan ke Rempang, Tuduh Warga Lakukan Kekerasan pada Pekerja

Di balik slogan "Rempang Eco City," tersimpan persoalan mendasar yang mencerminkan kegagalan pemerintah dalam menyeimbangkan antara ambisi pembangunan ekonomi dengan keadilan sosial.

Masyarakat adat di Pulau Rempang, yang terdiri dari Suku Melayu, Suku Laut, dan suku lainnya, telah menempati tanah tersebut selama lebih dari dua abad. Bagi mereka, tanah adalah bagian tak terpisahkan dari identitas dan keberlanjutan budaya.

Namun, pemerintah tampaknya mengabaikan fakta ini dengan memberikan Hak Guna Usaha (HGU) kepada PT. MEG tanpa konsultasi atau musyawarah dengan komunitas adat.

Langkah ini tidak hanya melanggar asas partisipasi dalam pembangunan, tetapi juga bertentangan dengan Pasal 18B UUD 1945 yang mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat.

Ironisnya, meskipun HGU diberikan sejak 2001-2002, investor tidak mengelola lahan tersebut hingga belasan tahun kemudian.

Kini, ketika proyek "Rempang Eco City" mulai diwacanakan, masyarakat adat justru dipaksa keluar dari tanah yang telah menjadi bagian dari kehidupan mereka selama ratusan tahun. Di mana keadilan yang dijanjikan negara?

Ambisi ekonomi yang buta kemanusiaan

Proyek ini digadang-gadang akan menciptakan peluang investasi besar dan lapangan kerja baru. Namun, sejarah pembangunan di Indonesia mengajarkan bahwa janji-janji serupa sering kali berujung pada eksploitasi dan penindasan.

Pemerintah menjanjikan pemberdayaan masyarakat lokal sebagai tenaga kerja, tetapi apakah mereka siap menghadapi tuntutan industri modern?

Janji belum ditunaikan, ternyata penindasan dan penggusuran sudah lebih dahulu mengemuka.

Baca juga: Tak Hanya Rusak Posko, Penyerang Warga Rempang Ancam Anak Gunakan Sajam

Di sisi lain, pendekatan pemerintah yang cenderung memihak investor menimbulkan pertanyaan serius.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau