MALUKU Utara adalah provinsi dengan integritas terendah menurut survei SPI Komisi Pemberantasan Korupsi dan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia menurut badan Pusat Statistik.
Integritas terendah adalah kelemahan menghadapi godaan, sedangkan pertumbuhan ekonomi tertinggi khususnya dari sektor pertambangan dan industri pengolahan hasil tambang adalah godaan yang sangat besar.
Kepala daerah baru diharapkan mampu membawa Maluku Utara berintegritas dan sejahtera. Akankah kepala daerah baru mampu?
Maluku Utara sebagai provinsi paling tidak berintegritas menurut survei SPI tahun 2024 Komisi Pemberantasan Korupsi (Nilai SPI sebesar 57,35 dari skala 100) adalah provinsi kaya pertambangan.
Sumbangan Maluku Utara bagi perekonomian nasional sangat besar dari sektor pertambangan. Namun, perhatian pemerintah pusat pada Maluku Utara juga besar, dengan banyaknya proyek strategis nasional (PSN) di Maluku Utara, baik yang telah selesai maupun sedang dalam proses.
Kabupaten Morotai, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Halmahera Tengah, dan Kabupaten Halmahera Utara adalah Pemda yang menjadi lokasi PSN berada.
Sebagian besar PSN berkaitan dengan pertambangan dan pengolahan (smelter) nikel, emas, dan bijih besi, kecuali di Kabupaten Morotai berupa pembangunan infrastruktur jalan, pelabuhan, dan kawasan ekonomi khusus.
Pendapatan negara yang didapatkan dari Maluku Utara tahun 2024 sebesar Rp 6,8 triliun, tapi terdapat pendapatan negara dari bea masuk dan pungutan ekspor yang dibukukan di luar Maluku Utara hingga sebesar Rp 4,33 triliun.
Sehingga secara kumulatif lebih dari Rp 11,13 triliun pendapatan negara diperoleh dari Maluku Utara.
Belanja pemerintah pusat di Maluku Utara sebesar Rp 6,05 triliun dan transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp 12,06 triliun, sehingga total uang negara yang masuk ke Maluku Utara pada tahun 2024 sebesar Rp 18,11 triliun (Sumber: Kanwil DJPb Maluku Utara).
Belanja sebesar Rp 6,05 triliun berasal dari belanja pemerintah pusat pada kantor daerah (kantor vertikal) kementerian/lembaga di Maluku Utara.
Belanja tersebut tidak memperhitungkan besaran belanja pemerintah pusat yang dicairkan oleh kantor pusat kementerian/lembaga (tidak dibukukan di Kanwil DJPb Maluku Utara), di mana manfaatnya diterima oleh Maluku Utara, seperti proyek pemerintah pusat di Maluku Utara yang menggunakan DIPA pusat, BLT, PKH, KIP, KIS, dan bansos lainnya, subsidi BBM, subsidi kredit program KUR, dan lain-lain.
Sehingga Maluku Utara defisit Rp 11,31 triliun. Jika memasukkan bea masuk dan pungutan ekspor yang dibukukan di luar Maluku Utara sebesar Rp 4,33 triliun, maka Maluku Utara defisit sebesar Rp 6,98 triliun.
Namun, jika menghitung belanja pusat yang dibukukan di pusat (tidak dibukukan di Kanwil DJPb Maluku Utara), defisit Maluku Utara jauh lebih besar.
Sehingga perubahan formulasi dan alokasi TKD sekecil apapun oleh pemerintah pusat akan sangat memengaruhi kinerja seluruh Pemda di Maluku Utara.