GUBERNUR Jawa Barat, Dedi Mulyadi tetap melanjutkan program pendidikan karakter ala militer terhadap sejumlah pelajar di tengah pro dan kontra publik.
Ada 39 pelajar SMP yang dinilai “sulit diatur” oleh sekolah dan keluarga yang dikirim menjalani pendidikan di di Resimen Artileri Medan 1 Sthira Yudha, Batalyon Armed 9, Purwakarta.
Sementara itu, sebanyak 30 pelajar yang dianggap nakal di Bandung, Jawa Barat, mengikuti sekolah militer di Rindam III Siliwangi, Bandung.
Sekilas, kebijakan ini mungkin terdengar solutif: menegakkan disiplin, menanamkan ketertiban, dan membentuk karakter kuat melalui pola pendidikan keras ala militer.
Namun, dalam kacamata hukum, pendidikan, dan perlindungan anak, kebijakan ini menyimpan potensi pelanggaran serius terhadap hak anak dan prinsip-prinsip negara hukum demokratis.
Kita perlu mengingatkan kembali bahwa “pendidikan karakter” bukan soal menghukum atau mendisiplinkan anak secara militeristik.
Baca juga: Ada Pro Kontra, Dedi Mulyadi Tetap Kirim Siswa Nakal ke Barak Militer
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 menegaskan bahwa pendidikan nasional bertujuan “mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Artinya, pendekatan pendidikan tidak boleh mengedepankan kekerasan, paksaan, atau subordinasi ala militer.
Pendidikan karakter yang sejati adalah proses pedagogis, bukan proses komando. Dalam praktiknya, berbagai pendekatan pendidikan berbasis trauma (trauma-informed education) dan keadilan restoratif (restorative justice) telah berkembang luas di dunia sebagai cara menangani siswa bermasalah secara empatik, mendalam, dan humanistik. Di sinilah letak perbedaan antara transformasi karakter dan penghukuman perilaku.
Dari sisi hukum, pendekatan Gubernur Dedi Mulyadi potensial melanggar prinsip-prinsip Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.
Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, negara wajib memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berada dalam situasi darurat, termasuk anak yang menjadi korban perlakuan salah atau penyimpangan sosial.
Pendekatan militeristik terhadap siswa bermasalah justru berisiko memperparah trauma dan mendorong stigmatisasi sosial lebih dalam.
Bahkan Komnas Perlindungan Anak dalam berbagai kasus serupa sebelumnya menegaskan bahwa "pendidikan berwatak militer" untuk anak hanya dapat dilakukan dengan standar etik dan pengawasan ketat—dan bukan sebagai hukuman atau bentuk pemidanaan sosial terhadap anak-anak yang sedang mengalami kesulitan tumbuh-kembang.
Baca juga: Usul Vasektomi Jadi Syarat Bansos: Antara Progresivitas Semu dan Pelanggaran HAM
Pertanyaan hukum mendasar juga muncul dari aspek peran TNI dan Polri. Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, Pasal 7 ayat (2) membatasi operasi militer selain perang hanya dapat dilakukan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara.